13

806 31 15
                                    

Menjawab pilihan ganda matapelajaran Sosiologi sebanyak dua puluh lima soal bagi Nasya itu mudah, apabila ia tidak mengerjakan di lapangan seperti ini. Kepalanya serasa meledak mengerjakan soal di bawah sinar matahari yang sangatlah panas pada siang hari. Mulut Nasya juga menahan dahaga dan mungkin ia akan dehidrasi. Sungguh, hukuman Devan sangatlah keterlaluan.

Baaaaaaaaaak

Bola basket tepat mengenai kepala Nasya. Cobaaan apalagi ini, sudah sangatlah menguji kesabaran. Nasya hanya bisa memegangi kepalanya tanpa tau menahu siapa yang telah melakukan hal ini sengaja atau tidak sengaja.

"Sorry," ucap suara yang tidak asing dipendengaran Nasya.

Cowok di depannya itu kemudian hanya mengambil bola basket, kemudian pergi meninggalkan Nasya tanpa perduli lagi.

"Dika," lirih Nasya memanggil tetapi tidak dihiraukan pemilik nama tersebut.

Dalam sekian detik tubuh Nasya terbaring lemah di pinggir lapangan bola basket, tubuh yang tadi berniat meninggalkan Nasya berbalik berniat menggendongnya ke UKS.

Kedua lengan kekar milik Dika ditepis oleh Devan yang datang tiba-tiba, "Pak, biar saya yang bawa Nasya ke UKS dia pingsan gara-gara saya!" pinta Dika memelas.

Pak Muklis dan beberapa murid XII Sosial 2 mulai bergerombol melihat keadaan Nasya. "Dika kamu sengaja ya tadi ngenain bola ke dia?" tuduh Pak Muklis.

"Gak pak, tadi tu," ucap Dika mencoba menjelaskan.

"Halah, Nasya gak mungkin kena bola kalau kamu gak sengaja," putus Devan dengan nada tinggi.

Tanpa berbicara lagi Devan langsung membawa tubuh Nasya ke ruang UKS meninggalkan Dika yang pastinya akan dihukum oleh Pak Muklis. Dika hanya bisa melihat tubuh bidadarinya dibawa oleh gurunya itu lagi, mungkin juga hatinya. Seberapa banyakpun kesalahan yang dilakukan gurunya kepada Nasya tidak akan mengurangi rasa cintanya, sedangkan seberapa banyak pengorbanan Dika untuk Nasya itu hanyalah omong kosong.

"Ngapain kamu bengong, sudah keliling lapangan sebanyak lima puluh putaran sekarang!" perintah Pak Muklis yang tidak dapat Dika bantah.

Tita yang melihat kejadian itu saat berjalan bersama Wika untuk ke toilet hanya bisa membiarkan pacar barunya itu dihukum. Hatinya merasa bahwa Dika masih mengharapkan Nasya. Seringkali hati menangkap radar, bahwa hati lain hanya perlu tempat singgah sementara. Namun terkadang logika membohongi bahwa semua hal dapat berubah, terutama urusan perasaan.

"Habis ini kita ke UKS," pinta Tita yang hanya dijawab anggukan oleh Wika.

Sesaat Tita dan Wika beranjak pergi, Dika menatap kepergian pacarnya yang berjalan bersama temannya itu. Sesungguhnya, Dika tau apa yang ia lakukan itu salah. Mengorbankan hati lain sebagai obat terluka itu sangatlah tidak pantas untuk disebut laki-laki sejati. Tetapi semua sudah terlanjur, Tita sudah berharap lebih kepada Dika. Ia pun sebaliknya.

Tita dan Wika sudah sampai di ruang UKS. Terlihat Nasya terbaring di ranjang, sedangkan Devan hanya berdiri bersender di tembok. Sesaat menyadari kehadiran kedua siswinya tersebut, Devan hanya bisa menatap tajam keduanya seperti biasa. Entahlah, dipikiran Wika sekarang bagaimana bisa sahabatnya Nasya itu berpacaran dengan guru Sosiologi tersebut. Apakah Nasya selalu nyaman ditatap seperti itu? Wika kemudian membuyarkan pikirannya yang melalang buana. Iya tetap yakin Pak Devan itu baik, apalagi wajahnya sangatlah tampan. Sudahlah pasti Nasya betah menjalin hubungan dengan Pak Devan.

"Mau apa kalian kesini?" tanya Devan mulai sewot.

"Haduh pak, malah ditanya yaiyalah kami mau jenguk Nasya sekalian jemput bapak ke kelas," jelas Tita dengan suara cemprengnya membuat kuping Devan terasa sakit.

"Kamu kalau mau ngomong pelan-pelan!" pinta Devan yang langsung mengunci mulut Tita.

"Gini lo pak, Nasya kan belum sadar mending kita yang jagain disini bapak ngajar ke kelas kita aja," bisik Wika sedikit tidak jelas.

"Kamu ngomong yang jelas!" pinta Devan membuat keduanya geram.

Keduanya hanya bisa menghela nafas, berpikir cara berbicara yang baik kepada guru Sosiologi menyebalkan yang berada di depan mereka sekarang. Semuanya seperti serba salah, mungkin keberadaan mereka juga sekarang salah.

"Serah bapak deh, mending kami balik ke kelas toh bapak mau menunaikan tugas sebagai pacar sekarang," ucap Wika menyerah.

"Tapi jangan lupa juga pak, tugas bapak sebagai guru," sahut Tita mengingatkan.

"Jangan sok ngajarin saya, tadikan saya sudah suruh kalian meresum kenapa kalian malah disini?" tanya Devan kesal.

"Terus bapak ngapain juga disini?" tanya Wika geram.

"Saya menunaikan tugas sebagai guru sekaligus pacar, saya salah menghukumnya tadi jadi harus tanggung jawab. Saya harap kalian mengerti," pinta Devan halus.

Mereka berdua langsung mengangguk paham. Kemudian, meninggalkan gurunya itu dan Nasya yang sedari tadi belum sadar. Terlihat jarum jam sudah menunjukkan angka tiga, kedua mata Nasya mulai terbuka perlahan. Melihat seseorang yang ia cintai untuk pertama kalinya, setelah melihat orang yang ia sakiti sebelum pingsan tadi.

"Dika mana?" tanya Nasya mulai beranjak duduk perlahan.

Betapa mirisnya hati Devan mendengar nama yang ditanyakan Nasya, tetapi ini bukan waktu untuk marah. Mungkin saja Nasya masih kesal dan ingin mengomeli cowok itu karena telah membuatnya pingsan.

"Sejam lagi pulang, nanti kamu aku anterin pulang ya," ucap Devan mengalihkan pembicaraan.

Nasya hanya menggangguk, kemudian mengambil buku tuganya yang terletak di samping tempat tidurnya tadi. Ia pun menyodorkan buku tugasnya kepada Devan.

"Kamu masih mikirin tugas?" tanya Devan mulai merasa bersalah.

"Sebab bapak yang nyuruh saya supaya mikirin tugas bapak, tenang aja kok tadi saya sempet ngerjain sampai selesai sebelum pingsan," omel Nasya.

"Maaf gara-gara tadi aku hukum kamu jadi kamu tadi pingsan," lirih Devan sangatlah kecewa dengan dirinya sendiri.

"Saya yang salah, bapak cuman berperan sebagai guru yang tidak membedakan muridnya."

"Yaudah, kamu istirahat aja lagi. Aku mau ke kelas sebentar nanti kalau bel pulang sekolah aku kesini lagi," pamit Devan gang hanya dibalas dengan senyuman kecil oleh Nasya.

Nasya pun kembali membaringkan dirinya, menutup matanya agar bisa tertidur. Meski, pikirannya masih melalang buana berharap pertanyaan diotaknya satu per satu akan terjawab. Namun terserah waktu, sebab ada kalanya ia akan mengetahui segala jawaban yang ada diotaknya.



#BacodAuthor

Jangan lupa dukung author dengan asupan suplemen dengan cara vote, komen dan share👌🏻

My Teacher is My BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang