Bab 08 || Majalah Dinding

1.1K 233 23
                                    

Dalam hidup yang singkat, ada satu hal yang mustahil dilakukan. Adalah kau berusaha agar semua manusia menyukaimu.


Gadis itu berdiri di depan Mading pusat yang terpampang di depan koperasi asrama putra saat dari mereka semua tengah menjalankan ngaji bersama.

Tangan kanannya masih memegang macaroon pemberian Ihda, sedangkan pikirannya telah terbang ke mana-mana. Tak ada artikel, esai, atau cerpen menarik dari mading yang tak penuh itu.

Bahkan tanggal terakhir dipasang sudah sebulan lalu dan Sena hanya berpikir bahwa mereka sedang macet atau sengaja tak menerbitkan bacaan baru. Bahkan yang dia tahu hari ini ada banyak sekali hal-hal yang menarik untuk dibahas.

"Cak!" panggil Sena pada seorang santri bersarung putih serta berkaus merah maroon, baru saja keluar dari koperasi.

"Iya, Mbak?" tanyanya.

"Siapa ketua pengelola mading pesantren? Saya mau ketemu."

"Oh, dia lagi ngaji kayaknya."

"Bilangin ya selesai ngaji saya mau ketemu. Kalau bisa sama anggotanya juga."

"Siap, Mbak."

"Okey." Setelahnya, Sena langsung kembali ke kantor untuk membantu Nada menyalin nilai beberapa kelas Diniyah mereka.

Namun, kali ini Sena tak bisa setenang sediakala. Ada sebuah rancu yang mulai memasuki frasanya mengenai kata-kata Ihda barusan. Bukan hanya barusan, bahkan Ihda seakan berusaha mendekatinya semenjak kedatangan Sena ke pesantren ini.

Namun, ia hanya meminta pada Allah tentang banyak hal terbaik yang akan ditimpakan padanya. Tentang sesuatu yang ingin Sena temui, tentang segala hal apa pun Sena kerapkali tak mengerti dan ia hanya mencoba mengikuti.

Tetapi semesta kerapkali bertindak keras. Pada masa lalunya tentu saja, dan Sena hanya mencoba lebih keras menyikapi takdir yang kerapkali tak sesuai. Andai ia lemah, andai dia hanya pasrah dan tak berusaha, semesta akan menginjak-injaknya. Semesta akan semena-mena bertindak karena kelemahannya. Dengan demikian Sena hanya berusaha agar mampu mengalahkan apa-apa yang menjadi penghalang pada tujuannya.

Dan kini gadis itu duduk di bawah sofa sembari menyalin nilai dari hasil ujian tahun lalu santri putra, membantu Nada yang kewalahan menulis banyak salinan sebelumnya.

"Assalamualaikum," ucap seseorang.

"Waalaikumussalam," lirih Sena tanpa memperhatikan suara yang berasal dari ambang pintu kantor yang terbuka itu.

"Ada yang bisa dibantu?" tanya Nada yang baru saja berdiri meninggalkan Sena.

"Saya dari Umar bin Khattab," jawabnya.

Sena mengerutkan dahi, lalu mengangkat kepala dan mengintip laki-laki bersarung hitam serta berkemeja putih dari balik sofa. Sesaat, kedua matanya terbelalak menyaksikan wajah yang tak asing itu.

"Ah kamu yang diminta Gus Hamdan itu ya? Siapa namamu? Ayo masuk dulu," kata Nada.

Laki-laki itu tersenyum, lantas berjalan ke arah sofa dan duduk kemudian setelah tas miliknya ditaruh di bawah meja.

"Hei, siapa namamu?" Sena menyembul dari samping sofa.

Laki-laki itu tampak terkejut, "Sena? Kamu ngapain di sini?"

"Ternyata kamu yang memberi saya gelang kaokah ini?" Sena mengangkat tangan kirinya melihatkan gelang kayu yang masih terikat kencang di sana.

"Kau masih menyimpannya." Dia terkekeh.

[6] Kilometer 14 (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang