Suatu hari, pada waktu yang tepat, Tuhan akan mengabulkan. Tuhan akan memberi jalan.
Barangkali masa berjalan begitu cepat. Kurang lebih 8 bulan Sena menghabiskan waktunya di sini. Dan sekarang, di rumah ndalem, ia dan Farhan duduk di depan Gus Hamdan dan Ning Mariyah yang sejak sepuluh menit tadi memberi beberapa kata pengantar sebelum melepaskan mereka kembali pergi.
"Sekali lagi saya berterima kasih pada kalian karena telah mengabdi di sini, tahun ajaran baru nanti, ada tiga santri putra dari Umar yang datang ke sini karena mendapatkan Pesantren Ibnu Rusyd tempat mengabdinya, menggantikan kalian. Syahadah ini akan saya berikan pada kalian, semoga kalian bisa meraih apa yang dicita-citakan. Dan selamat kepada Farhan yang akan melanjutkan belajarnya di Darul Mustafa." Gus Hamdan tersenyum. Beliau kemudian menyerahkan dua ijazah mua'dalah pada mereka.
"Nggeh, Gus. Matur suwun," jawab Farhan.
"Matur suwun, Gus," kata Sena.
"Ya sama-sama. Saya nggak bisa berlama-lama di sini, karena saya mau ke pesantren Dzinun untuk mengantarnya pergi. Hari ini dia akan meninggalkan Indonesia untuk beberapa saat," lanjut Gus Hamdan.
"Dan ini ada hak milik kalian yang harus kalian bawa. Jadi, kami mohon jangan ditolak." Ning Mariyah memberi dua amplop putih yang lumayan tebal. Sena terkejut, bahkan setahu dia ngabdi itu tak perlu mendapat bayaran. Tidak membayar bulanan makan dan listrik pun itu sudah bonus luar biasa, tapi Ning Mariyah seakan menghitung pendapatan mereka dari awal bulan.
"Ning tapi, seharusnya ini enggak perlu. Sudah kewajiban kami mengabdi di sini." Farhan angkat bicara. Sena mengangguk menyetujui.
Ning Mariyah tersenyum. "Ambil saja. Saya bilang jangan ditolak. Kami berterima kasih karena kalian sudah bertahan di sini."
"Matur suwun, Ning," kata Farhan.
"Gus Hamdan, maaf kalau saya lancang. Tapi Gus Dzinun mau ke mana?" Sena bertanya ragu. Demi apa pun sesungguhnya dia tak memiliki hak untuk bertanya, tapi nyatanya sampai sekarang dia belum benar-benar mampu menghadapi kenyataan bahwa dia bukan seseorang yang pantas untuk laki-laki itu.
"Kampusnya libur 3 bulan dan dia diminta ayahnya untuk menemui salah satu guru di Yaman."
"Tapi, Gus Dzinun akan kembali lagi kan, Gus?"
"Seharusnya begitu, tapi saya nggak bisa memastikan."
Sena terdiam. Pikirannya langsung kacau. Untuk terakhir kali bila memang menjadi waktu yang terakhir, Sena ingin mengucapkan selamat tinggal pada Dzinun dan meminta penjelasan atas ucapan laki-laki itu beberapa bulan lalu. Namun, mungkin Sena terlalu percaya diri, mungkin dia terlalu ge-er berharap bahwa Dzinun menyukainya.
Setelah berpamitan dengan Gus Hamdan dan Ning Mariyah, Sena dan Farhan langsung keluar dengan serta membawa syahadah. Sena memakai sandal, lalu segera pergi menuju asrama ustazah.
Asrama sudah sangat sepi. Hampir semua santri sudah pulang dan mereka akan kembali saat ajaran baru nanti. Ada pun mereka yang berasal dari Kalimantan, NTB, NTT, atau Papua, tetap tinggal di asrama. Tiket pesawat seringkali tak bersahabat dan jarak benar-benar menjadi alasan. Kadang-kadang Gus Hamdan dan Ning Mariyah mengajak mereka berpariwisata keliling Malang hingga Bali menggunakan Bus, setidaknya ketika teman-teman mereka kembali dan menceritakan liburan dengan keluarga yang asik, mereka juga memiliki cerita liburan yang tak kalah asik.
Hal-hal seperti itu juga berlaku di pesantren Sena. Umar bin Khattab. Sena membuktikan sendiri saat suatu ketika dia memilih menetap di asrama. Dan akhirnya dia diajak oleh Gus Ismail dan Ibu Nyai untuk keliling Bandung dan Jakarta. Sangat asyik memang.
KAMU SEDANG MEMBACA
[6] Kilometer 14 (Completed)
Spiritualité#Ibnu Rusyd Wajibnya mengabdi satu tahun di pesantren sebagai syarat pengambilan Syahadah, membawa gadis 18 tahun bernama Avicenna terjebak di pesantren khusus Putra, Ibnu Rusyd. Di sinilah keberanian serta ketegasan Sena diuji bagaimana dia harus...