Tak ada yang lebih baik selain menyembah Tuhan yang menggenggam harapan kita.
"Gus, Sena mau pulang. Dia masih di kantor kalau mau nemuin, soalnya belum tentu balik lagi ke sini," ucap Malik yang baru saja tiba di dekat menara air.
Ihda yang sedang menyesap kopi hitam di cangkir tak menjawab apa-apa kecuali tetap menikmati pemandangan matahari yang perlahan muncul di ufuk timur langit pesawahan. "Biarin. Pulang ya pulang lah. Terus kudu piye?" Dia berkata datar.
"Ndak mau ketemu dulu bentar? Panjenengan ki lapo, Gus?"
"Ya nggak papa. Aku cuma lagi nggak mood. Lagian bentar lagi diniyah, aku mau persiapan berangkat." Ihda yang sudah mengenakan kemeja putih dan sarung cokelat, bangkit. Dia meletakkan gelas kosong di dekat menara air, lalu berjalan ke kamar untuk menjalankan tugas menyuruh santri untuk cepat keluar kamar dan berangkat diniyah.
Sesungguhnya Ihda ingin mengucapkan "hati-hati" padanya yang hendak pergi. Namun, dia lebih memilih untuk tak melakukan apa pun kecuali membiarkan segalanya berakhir. Saat ini dia harus kembali fokus pada kehidupan sebelum bertemu Sena. Belajar giat demi tercapai cita-cita lolos masuk Saintek dan kembali ngaji, menghafal, lalaran, ngopi dan diskusi bersama teman.
Digedor-gedornya pintu kamar. Di dalam masih terlihat banyak santri yang tengah persiapan, sedangkan jam masuk tinggal sepuluh menit lagi. "Cepat keluar dan jangan telat. Kalau selesai sarapan langsung siap-siap jangan santai-santai main dulu. Sepuluh menit lagi masuk," omel Ihda.
Dia masih berdiri di ambang pintu menatap santri yang masih terlihat buru-buru. "Dihitung sampai lima kalau nggak keluar, namanya dicatat."
"Satu!"
"Sebentar, ya Allah kitabku endi, Rek."
"Lah kamu taro di mana?"
"Ikat pinggangku ilang."
"Pulpenku mana?"
"Pinjem sarung, sarungku belum kering semua."
"Dua!" Ihda masih mendengar keributan yang semakin jelas.
"Tiga ... Empat ..."
Anak-anak mulai berlari keluar, tetapi masih ada yang sibuk memakai sarung, mengancing kemeja atau mencari kitab di atas lemari.
"Empat setengah." Ihda menekan peringatannya.
Tiga santri yang tersisa berlari keluar, dan di dalam masih terdapat satu orang santri yang baru selesai. "Lima! Jalannya cepat, jangan sampai Ustaz yang nungguin kamu di kelas." Ihda keluar meninggalkan santri itu, lantas berkeliling ke kamar-kamar dibagi tugas dengan keamanan lain, memastikan bahwa tak ada santri yang bolos diniyah hari ini.
Sebelum diniyah mulai, para keamanan memang sibuk berkeliling asrama. Memeriksa masjid, kamar mandi, perpustakaan asrama, sekadar memastikan bahwa semua santri benar-benar berangkat diniyah. Setiap hari, begitulah cara pengurus asrama berbakti pada para guru.
🐝🐝
Di depan kantor, gadis berjilbab ungu muda tampak duduk memastikan kembali barang bawannya di ransel hitam yang ditaruh pada lantai agak bawah.
Sesekali dia menoleh ke arah perbelokan asrama putra, barangkali sebelum Sena benar-benar pergi, Ihda akan menemuinya sebentar. Namun, hanya embusan napas pasrah yang terdengar menyadari bahwa menunggunya sama dengan melakukan perbuatan sia-sia.
Gadis itu menatap arloji yang melingkar pas di pergelangan tangan. Tepat pukul 11.00. Satu setengah jam lagi kereta akan berangkat dan dia belum ke stasiun. Mencoba mengulur waktu barangkali di detik-detik terakhir kepergiannya sosok berambut ikal serta berkulit sawo matang itu akan ke sini. Sekadar mengucapkan "Sena, kamu janji akan kembali, kan?" tetapi lagi-lagi hanya kekosongan yang didapat.
KAMU SEDANG MEMBACA
[6] Kilometer 14 (Completed)
Spiritualité#Ibnu Rusyd Wajibnya mengabdi satu tahun di pesantren sebagai syarat pengambilan Syahadah, membawa gadis 18 tahun bernama Avicenna terjebak di pesantren khusus Putra, Ibnu Rusyd. Di sinilah keberanian serta ketegasan Sena diuji bagaimana dia harus...