Namun sayangnya tidak setiap usai hujan terbit pelangi. Kadang-kadang manusia hanya terlalu mengharapkan yang tak pasti.
Setelah ashar berjamaah, Ihda kembali ke kamar sekadar meletakkan kembali sajadah di pintu lemari.
"Gus, mau ke mana panjenengan?" tanya Malik. Setelah ashar nanti mereka tidak ngaji karena sang ustaz ada kegiatan hari ini, jadilah mereka memiliki sedikit waktu luang untuk melakukan kegiatan lain. Seperti lalaran sembari ngopi di sore hari misalnya.
"Mau ke kantor sebentar. Mau ikut?" Ihda membenarkan sarungnya yang tadi sedikit kendor, lalu setelah terasa kencang dia menghadap Malik.
"Ayo, aku pengen ke koperasi."
Setelahnya, kedua santri itu langsung keluar kamar. Di luar asrama ramai para penduduk pesantren yang baru saja selesai salat dan persiapan ngaji setelah ashar. Lalu lalang mereka yang membawa kitab memang sejuk nan mendamaikan.
Sedang Ihda dan Malik tetap melanjutkan langkah, sembari sesekali berpikir tentang hal yang mustahil. "Mal, keluar yuk beli martabak telor," ajak Ihda.
"Kapan, Gus? Jam segini mah Mas Kikin belum buka. Dan ada kartun loh, Gus. Nggak mau nonton tv?"
"Loh iya sih. Nonton dulu sebentar sembari nunggu Mas Kikin buka. Atau kalau dia nggak jualan hari ini, aku mau kwetiau di depan asrama."
"Nggeh, Gus. Nanti aku temani."
Hingga akhirnya kedua santri itu tiba di kantor. Mereka berjalan masuk menuju ruang yang tak terlalu luas. Di sana hanya sedikit asatizah yang masih menempati meja masing-masing. Pukul 15.15 memang waktu pulang tanda bahwa kegiatan di kantor sudah selesai dan barangkali mereka sedang di kamar melaksanakan ashar atau melakukan hal lain yang tak Ihda pikirkan.
Kedua pemuda itu duduk di atas sofa. Ihda meraih remot hitam lalu menyalakan layar selebar 42 inci dan mencari channel kartun. Namun nahasnya, iklan menjeda. Laki-laki itu menekan-nekan nomor dengan asal sembari mencari tayangan yang lumayan asik.
"Nggak ada yang asik banget ya, Mal," komentar Ihda.
"Iya, Gus. Itu-itu aja," timpal Malik.
"Enak zaman dulu."
"Betul. Waktu kita kecil tayangannya seru banget. Kartun masih banyak. Dan tayangan yang mengedukasi juga masih banyak dijumpai."
"Kalau sekarang?"
Malik tertawa.
Sesaat, Ihda menghentikan kegiatannya ketika kedua mata miliknya menangkap sebuah berita yang diputar langsung. Setidaknya dia masih bisa melihat dunia luar melalui benda kotak di depannya.
"Setidaknya 39 orang tewas dan ratusan lainnya luka-luka setelah kereta Raja Siang bertabrakan dengan Bus wisata pukul 14.39 hari ini." Seorang reporter wanita tampak menyampaikan berita langsung di tempat kejadian. Terlihat gerbong depan kereta yang tampak keluar jalur dan sebuah bus yang hancur di depannya.
"Gus, mohon maaf bisa tolong diperbesar volumenya?" Tiba-tiba seseorang duduk di samping sofa, sebelah Ihda.
Ihda menoleh sekilas, dia Farhan. Ihda langsung membesarkan volume tv dan ikut serta menonton berita kecelakaan kereta api tersebut. Namun, dia tak merasakan apa-apa kecuali memperhatikan raut wajah Farhan yang perlahan berubah.
"Untuk saat ini Gubernur Provinsi mengatakan pada wartawan bahwa sejauh ini ada 101 korban yang terluka. Namun, pihak penyelenggara sarana memperikarakan bahwa jumlah tersebut akan meningkat," lanjut sang reporter.
"Sena." Laki-laki itu mendesis.
Ihda mengernyitkan dahi. Dia menatap Farhan intens. "Apa, Mas? Apa yang Sena?" tanya Ihda tegas.
KAMU SEDANG MEMBACA
[6] Kilometer 14 (Completed)
Spiritual#Ibnu Rusyd Wajibnya mengabdi satu tahun di pesantren sebagai syarat pengambilan Syahadah, membawa gadis 18 tahun bernama Avicenna terjebak di pesantren khusus Putra, Ibnu Rusyd. Di sinilah keberanian serta ketegasan Sena diuji bagaimana dia harus...