Dan aku berlindung pada Tuhan dari ingatan masa lalu yang kerapkali menyakitkan.
Di balkon lantai dua rumah asrama, Sena memindahkan jemuran miliknya yang masih lembab, ke dalam yang terlindungi atap. Mendung di atas sana tampak mendominasi warna langit yang sebelumnya putih bersih dan sekarang berubah abu tua.Selain memasukan jemuran miliknya, dia juga memasukkan jemuran ustazah lain dan memutuskan untuk berdiri di balkon walau sebentar setelah pekerjaan usai. Dari atas sini, tembok pembatas tampak jelas terlihat melindungi dua rumah khusus ustazah dari sentuhan luar.
Lalu di luar tembok tampak gedung-gedung organisasi dan dari sini pula Sena dapat melihat masjid besar Ibnu Rusyd yang dikelilingi empat menara tinggi berwarna cokelat tentu saja yang pernah dilihatnya dari luar.
Sepanjang mata memandang tak dilihat satu pohon pun kecuali rumput-rumput yang tumbuh di jendela kamar mandi yang dilihatnya pagi tadi. Mungkin karena di sana selalu lembab, tumbuhan kecil itu merasa memiliki kesempatan untuk menampakkan dirinya.
Sayup-sayup angin yang tak terlalu menyejukkan menampar wajahnya yang cenderung tampak pucat. Sena memiliki kulit seputih susu, bulu matanya lebat tapi tak lentik, begitu pun alisnya lumayan tipis. Hidungnya cukup mancung dan warna bibirnya sangat pias. Sena yang hanya menyukai lipstik warna merah, lebih sering membiarkan bibirnya tak dipoles apa pun karena pesantren memiliki peraturan untuk tak pernah memakai make-up secara berlebihan. Ada batas-batas yang memang harus dipatuhi, dan karenanya ia tak berani memakai warna yang melambangkan keberanian itu. Entahlah, warna merah hanya membuatnya terlihat percaya diri.
Dalam diam gadis itu mengingat tentang misi utamanya ke sini, tetapi hingga di hari ke tiga, Sena belum juga mendapat kesempatan untuk mencaritahu jawaban atas pertanyaan miliknya. Tepatnya, dia belum menemukan sesuatu yang dicarinya.
"Avicenna!" panggil seseorang.
Gadis berjilbab merah muda itu menoleh, "Mbak Nada, ada apa?" tanya Sena mendapati perempuan berdaster jingga yang baru saja menyembul dari dalam.
"Dipanggil Ning Mariyah di kantor. Ada Gus Hamdan juga. Kamu belum bertemu mereka, kan?" tanya Nada setelah berdiri di depan Sena.
"Iya belum, Mbak. Saya ke sana sekarang, ya," pamitnya kemudian.
"Okey, jangan lupa bawa payung, Na. Nanti takut pulangnya hujan."
"Iya, Mbak."
Sena lantas berjalan ke arah tangga dan menuruni anak tangga kecil itu satu per satu. Dia tak mengerti maksud Gus Hamdan memanggilnya, hanya saja tugas seorang santri adalah menuruti perintah sang guru selagi tak bertentangan dengan kebaikan. Itulah yang selalu Sena terapkan hingga kapan pun.
Kerapkali hal-hal kecil dapat menghasilkan rida bila dilakukan dengan ikhlas dan sesungguhnya hanya sedikit saja yang menyadari.
🐝🐝
Di depan kantor, perempuan bergamis maroon itu duduk di kursi kayu menunggu seseorang yang memanggilnya ke sini sepuluh menit lalu.
Gerimis mulai membasahi tanah yang terhampar di depan kantor. Sena bangkit, lantas berjalan dan berdiri di teras menghirup aroma patrikor yang mulai menyegarkan indera penciumannya.
Seingatnya, bulan sekarang belum saatnya musim hujan. Namun Tuhan tak akan pernah salah jadwal menurunkan rizki pada hamba-Nya. Enam belas tahun lalu, mungkin rintikan yang jatuh dari langit ini menjadi saksi atas kesendirian yang dirasakan Sena di balik selimut putih kecil yang masih disimpannya. Namun, seberapa pun badai kehidupan menghantam ketika hujan, Sena tak akan pernah membenci rahmat Tuhan. Toh segala sesuatu akan kejadian bila memang saatnya kejadian, tak mengenal keadaan, tak mengenal bagaimana saat itu waktu mempermainkan karena takdir telah terencanakan.
![](https://img.wattpad.com/cover/236466150-288-k885947.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
[6] Kilometer 14 (Completed)
Spirituale#Ibnu Rusyd Wajibnya mengabdi satu tahun di pesantren sebagai syarat pengambilan Syahadah, membawa gadis 18 tahun bernama Avicenna terjebak di pesantren khusus Putra, Ibnu Rusyd. Di sinilah keberanian serta ketegasan Sena diuji bagaimana dia harus...