Bab 26 || Angkasa yang Runtuh

749 188 25
                                    

Mungkin kau pernah merasa dikecewakan semesta, namun ayat-ayat-Nya berbicara tentang betapa kau sangat istimewa jika menjadi hamba yang menerima.

Sena sudah bersiap dengan memakai kaos rajut maroon dan celana kulot hitam serta jilbab yang senada dengan kaosnya. Di ruang tamu, dia melihat Bu Ema tampak menyiapkan rantang berisi makanan yang cukup banyak. Katanya itu untuk seseorang yang akan dijenguknya di lapas.

"Bang, sebenernya Mama sama Papa ke mana, sih? Kenapa kita harus bawa makanan sebanyak ini dan kenapa kita harus ke lapas untuk memberi makan pembunuh orang tuaku," protes Sena.

"Pembunuh orang tuamu juga manusia. Butuh makan yang enak. Makanan di lapas nggak enak." Sembari memakai hoodie hitam yang sebelumnya terlapisi kaos putih, Elang mengambil kunci mobil dari atas nakas ruang tamu. Lalu mengulurkan dompet hitam dan ponsel yang tadi dipegangnya pada Sena.

"Pegang. Masukin ke tas," pintanya.

Sena mengambil dua benda itu, lalu dimasukan ke ransel putih kecil yang dipakainya.

Keduanya lantas berjalan keluar rumah, memasuki mobil merah Elang yang sudah terparkir manis di pelataran rumah. Pekerja kebun yang merupakan suami Bu Ema, sudah sibuk menyiram tanaman dan sesekali mencabut rumput yang merusak pemandangan.

"Sena, Abang bilang sekarang, ya," ucap Elang tiba-tiba.

Mobil yang mereka kendarai sudah bergerak cukup cepat bergabung dengan pengendara lain di jalanan. Jalanan Jakarta pukul 09.00 sudah ramai dipadati pekendara yang sibuk dengan tujuannya masing-masing.

"Apa, Bang?"

"Lima hari lalu Abang mendapat surel dari Alabama University. Abang--"

"Abang ketrima di Alabama?" Sena memotong penjelasan kakaknya.

Elang mengangguk. "Negara impian sejak kecil. Kamu tahu kan kalau Abang--"

"Iya aku tahu kalau Abang suka sekali dengan Alabama. Bahkan Abang menginginkan untuk tinggal di sana selamanya."

Elang menggeleng, "Enggak, Sena. Abang akan kembali setelah menuntaskan S2 atau mungkin lanjut sampai S3. Tapi percayalah Abang akan pulang lagi."

Sena terdiam. Dia melihat jalanan di depan dengan tatapan kosong. Pikirannya sudah melayang ke mana-mana mengembara jauh sekali. Di satu sisi ia senang sekali saat mendengar Elang di usianya yang ke 23 tahun sudah bisa melanjutkan S2 di negeri impian, tetapi di sisi lain ia merasa kehilangan atas keputusan itu. Mungkin ini terlalu buru-buru.

"Kapan Abang pergi?" tanya Sena.

"Dua bulan lagi."

"Gitu, ya." Sena tak menanggapi apa pun lagi. Benar, dia terlalu egois. Dia takut bila Elang meninggalkannya tetapi dia seakan lupa bahwa enam tahun sudah ia meninggalkan Elang dengan hidup di asrama bersama teman-temannya.

Sekitar satu jam kemudian, kendara roda empat itu terhenti di parkir sebuah lapas yang cukup luas. Elang keluar, disusul Sena yang kemudian ikut keluar serta membawa rantang berisi makanan.

Elang menggandeng tangan Sena, mereka masuk ke gedung yang bagi Elang adalah sebuah mimpi buruk.

"Abang tunggu di depan, ya. KTP-mu daftarkan sama petugas biar dapat surat izin berkunjung," ucap Elang.

Sena menoleh. "Aku bilang mau mengunjungi siapa?" tanya Sena.

Terdengar helaan napas dari Elang. "Ayo Abang antar, kemarikan KTP-mu."

Elang mendekat ke meja petugas dan Sena mengikuti di belakangnya. "Selamat pagi Pak Dewa," sapa Elang pada lelaki paruh baya.

Lelaki itu menoleh. Dia tampak tersenyum. "Elang, ke sini lagi?"

[6] Kilometer 14 (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang