TUJUH PULUH EMPAT

16.4K 1.2K 516
                                    

🔴⚪🔴⚪🔴⚪🔴⚪🔴⚪🔴⚪🔴⚪

DIRGAHAYU REPUBLIK INDONESIA
🚩🚩
⚪🔴⚪🔴⚪🔴⚪🔴⚪🔴⚪🔴⚪🔴


Apakah kalian mulai bosan dengan cerita ini? :(

~~

Omong-omong papanya Devano sudah muncul, kenapa kalian malah pengen dia buru-buru mati, sih?
Kita kan baru mulai 😂

★★★★★★★★★★★★★★★★★★

Warning
Part ini mengandung kondisi yang membuat kalian ngeri-ngeri sedep.

★★★★★★★★★★★★★★★★★★

~~

Happy Reading
And
Stay with me until the end
💖
~~

Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan..

Olivia sudah puluhan kali menghubungi Devano, tapi ponselnya tidak aktif. Ia cemas, tubuh mungil itu ada di depan rumah Devano, tapi ia enggan masuk. Pagarnya juga terkunci rapat.

Air mata Olivia masih menetes dengan peluh yang tak bisa berhenti membanjiri tubuhnya. Ia tidak melihat tanda-tanda adanya teriakan atau sejenisnya. Olivia tahu, rumah itu terlalu besar. Ruang-ruang rumah kokoh itu pasti kedap suara. Tapi, Olivia setidaknya ingin mendengar suara teriakan Devano. Cuma itu yang bisa memastikan kalau laki-laki itu masih bernapas.

Dengan tangan basahnya ia meremas rok abu-abu yang tampak kusut. Sama seperti rambutnya yang berantakan.

Tidak ada tanda-tanda aktivitas apapun di dalam rumah Devano. Mobil Devano juga tidak ada, biasanya mobil itu terparkir di depan garasi yang tertutup, sebab ruangannya tidak cukup menampung beberapa mobil Devano yang lain. Tapi, halaman rumahnya kosong. Mobil pak John atau mobil papanya juga tidak terlihat.

Apa mereka membawa Devano pergi? Kemana?!

Olivia menatap jeri pada langit yang mulai mendung. Setetes air jatuh ke bumi, bersusulan dengan tetes-tetes lain yang meluruh semakin deras. Olivia tidak punya pilihan lain, tubuh ringkih itu akhirnya menyingkir dan diam di bawah halte bus untuk berteduh.

Seragamnya kuyup karena hujan yang mendadak turun langsung deras dan ia tidak bawa payung. Olivia sekali lagi mencoba menghubungi Devano, tapi hanya ada suara operator di seberang sana.

Ketika langit mulai menguning dan hujan telah pamit pergi, Olivia memutuskan untuk pulang ke rumah dengan kondisi yang begitu menyedihkan. Ia masuk ke dalam kamar, mengabaikan ucapan ibu yang menyambutnya dengan antusias. Bertanya-tanya bagaimana nilai rapornya.

Olivia meleseh di sudut ruangan, memeluk kedua lututnya dan membenamkan wajahnya di sana. Hatinya kalut. Ia cemas, menanti kabar Devano begitu menyesakkan dada. Olivia tidak tahu di mana laki-laki menyedihkan itu. Ia juga takut. Bukan hanya takut Devano terluka, tapi ia takut menatap mata menyalak ayah Devano. Kilatan kejam matanya mampu menggores perasaan siapa saja yang menatapnya.

Kejam. Hanya satu kata itu yang mampu mendeskripsikan sosok menyeramkan ayah Devano. Tubuhnya yang padat berisi, kepalanya yang pelontos dan wajah kaku yang menyiratkan garis-garis kekejaman sekaligus kepedihan. Olivia tahu, sepuluh tahun lalu laki-laki itu pernah setampan Devano. Tampak jelas dari lekukan bibir dan hidungnya, juga dari bekas tubuh gagahnya yang bertransformasi menjadi sosok ayah yang begitu menyeramkan.

PARAPHILIA (SUDAH TERBIT ❤)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang