TUJUH PULUH DELAPAN

22.1K 1.4K 379
                                    

~~
Happy Reading
And
Happy birthday Devano 🎉🎊
~~

Brukk ..

Olivia menengadah, menatap susunan tangga yang berderet rapi menuju kamar Devano di lantai dua. Sebuah suara seperti benda jatuh memaksa Olivia mengenyahkan sedikit rasa takut pada peringatan akan kedatangan ayah Devano, berganti dengan ketakutannya terhadap Devano.

"Ya ampun, Dev!!"

Olivia memekik ketika ia segera menghampiri sumber suara dan melihat Devano diam di sudut ruangan. Selimut yang semula menutup tubuhnya ikut terseret dan berceceran di lantai bersama guling dan bantal.

Laki-laki itu meringkuk sambil menggigil, pandangannya kosong dan menggumamkan satu kata yang sama secara terus-menerus, "jangan."

"Dev, kamu kenapa?"

Olivia mendekat. Ia menggapai tangan Devano yang terasa sangat panas, kening dan rahangnya juga. Wajah pucat dan ketakutan tercetak jelas bersama dengan gigilan tubuhnya.

"Dev, ini aku. Kamu kenapa?"

Olivia mengusap rambut Devano, turun ke wajahnya lantas berhenti di atas dasar bibir Devano yang tengah mengembuskan napas, berat dan panas.

Tangan kekar itu tiba-tiba merengkuh pinggang Olivia dan menggiringnya agar ikut terduduk di sudut ruangan. Olivia yang terkejut dengan pergerakan Devano hanya bisa menurut dan menatap bingung pada sorot mata Devano yang terus-menerus menatap ambang pintu yang terbuka sedikit.

"Jangan... aku gak salah, aku bukan anak pembangkang. Enggak!"

Devano menggeleng lantas membenturkan kepalanya ke tembok yang ia sandari berulang kali.

Dug dug dug..

Olivia cemas. Ia langsung bangkit dan memegangi belakang kepala Devano agar membentur ke telapak tangannya.

"Dev, gak boleh. Nanti kepala kamu sakit, sayang. Siapa yang bilang kamu pembangkang? Kamu anak baik. Anak pintar, udah ya .."

"Dia yang bilang .. dia .."

Devano menangis sambil menunjuk ruang kosong di depannya, tepat ke ambang pintu yang terbuka selebar tubuh orang dewasa. Ia terus membenturkan kepalanya ke tembok. Setiap kali Devano merasa telapak tangan Olivia menghalangi, kepalanya akan berpindah membentuk dasar tembok lain.

Olivia menoleh dan mengerutkan dahi, siapa yang dimaksud Devano? Ayahnya? Ayahnya tidak ada di sana."

"Aku gak mau.. takut.. jangan, aku mohon. Jangan. Enggak!"

Olivia kembali menatap Devano dengan wajah cemas. Ia menggigit bibirnya, bingung harus melakukan apa. Dengan tubuh mungil itu ia menggapai tubuh Devano dan memeluknya, tapi ditolak mentah-mentah oleh tubuh gagah yang semakin bergetar.

"Jangan peluk. Dia nanti marah.. takut.. aku takut.."

"Siapa yang marah? Cuma ada aku di sini, Devano. Cuma ada aku. Olivia. Ini aku. Gak ada orang lain."

"Di sana..."

Devano menunjuk sekali lagi ke arah ambang pintu kamarnya dan sekali lagi Olivia menatap ke arah itu. Tidak ada siapapun. Apa rumah Devano berhantu dan dia sebenarnya indihome? Eh indogo.

"Dev, kamu lihat apa sebenarnya?"

"Itu.. papaku."

Devano masih saja menunjuk ruang kosong di ambang pintu. Ia berkata dengan begitu lirih seolah takut terdengar oleh seseorang yang entah siapa dan di mana. Olivia sekali lagi menoleh pada ruang kosong yang ditunjuk Devano. Tidak ada apapun selain..

PARAPHILIA (SUDAH TERBIT ❤)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang