Sometimes i find it hard to keep both feet on the ground,
But everything worth fighting for
Is worth the ups and downs.***
"Neth, apa sih istimewanya Sarah sampe lo segitu betahnya sama dia? Minggu sore sama dia, nyoba tempat makan baru sama dia? Kenapa sih? Kayaknya banyak kok yang lebih 'wah' dari Sarah tapi kok elo segitunya sama Sarah?" Tanya Michelle suatu siang.
Aku mengangkat pandanganku dari buku yang sedang kubaca dan menatap Michelle heran. "Kok tiba-tiba, Chelle?" Tanyaku heran.
"Nih ya, Neth, gue kasih tau. Temen-temen gue banyak banget yang nanyain elo. Mereka bilang lo tipe cowok idaman banget. Banyak yang suka sama lo, kok lo kayaknya nggak peduli sama sekali? Lo kayaknya liat Saraaaah melulu dari tingkat satu," jawab Michelle sambil memainkan rambutnya.
"Bukannya gue bilang Sarah nggak cantik, nggak menarik. Doi oke kok, dan pas dulu kenalan kayaknya anaknya asik, tapi apa istimewanya sampe elo segitunya?" Michelle menatapku tajam.
Aku mengangkat alis. Dari dulu aku masih belum terbiasa dengannya yang sangat tanpa basa-basi. Aku tidak membencinya, tapi kadang-kadang menurutku dia suka bertanya pertanyaan-pertanyaan yang agak terlalu pribadi.
Aku tersenyum tipis ke arahnya. "Gimana ya, Chelle? Sarah itu... hmm, agak susah nih jelasinnya, tapi semakin lo deket sama dia, semakin lo merasa dia tuh berbeda. Dia istimewa. Duh, lo pasti nggak ngerti, tapi kalau lo dan sarah sedeket gue dan dia, lo akan ngerti."
Michelle masih menatapku, tampaknya dia tidak puas dengn jawaban yang kuberikan. Dia tampak masih ingin bertanya banyak hal. Tapi aku tahu, percuma menjelaskan padanya tentang Sarah. Jadi aku tersenyum tipis, dan kembali menekuni bukuku.
***
Apa istimewanya Sarah? Aku terus memikirkan pertanyaan itu seharian. Pertanyaan yang sama yang pernah kutanyakan padanya suatu saat dulu.
Aku ingat beberapa bulan yang lalu, aku dan Sarah baru selesai menghadiri acara di kampus. Kami pulang sekitar jam tujuh malam di hari sabtu, dan ya, tentu saja jalanan sangat macet.
Kami berdua duduk di mobilku, sementara di luar kendaraan lain hiruk pikuk, dengan suara klakson dan asap polusi yang membumbung. Dan anehnya aku merasa begitu aman. Saat itu aku merasa kami berdua memiliki tempat kami sendiri di tengah dunia yang begitu sibuk.
Aku menoleh ke arahnya, menatap bagaimana kedua bola matanya bersinar akibat lampu kendaraan, atau bagaimana anak rambutnya lepas dari ikatan ekor kudanya. "Kok kita bisa ya berteman segini lama?" Tanyaku.
Dia tertawa sedikit. "Karena kita cocok, dan...," dia mengambil jeda, "Karena gue begitu istimewa!" Dia mengibaskan rambutnya dengan berlebihan, sesuatu yang dia lakukan kalau dia sedang bersikap sok.
Aku menjulurkan lidah dan memberikan gestur seolah-olah akan muntah. "Istimewa? Nggak normal maksudnya?" Ejekku. Dia menatapku kesal dan mengerutkan hidungnya lucu.
"Tapi serius, Sar. Menurut lo, hal apa yang paling istimewa dari diri lo?" Tanyaku.
Dia menatapku, kemudian meletakkan sebelah tangan di dadanya dengan dramatis, "Setelah berteman sama gue bertahun-tahun, Kenneth? Lo bahkan nggak tau hal apa yang paling istimewa dari gue?!"
Aku memutar bola mataku, "Serius lah."
Dia tampak berpikir keras. "Sejujurnya gue nggak tau. Jujur aja, Kenneth, rasanya semua kualitas baik di diri gue, selalu ada orang yang memiliki hal yang sama, bahkan lebih baik. Gue menerima diri gue sendiri, tapi sejujurnya gue nggak merasa seistimewa itu," jawabnya.
"Masa sih lo ngerasa gitu? Minimal nih, menurut gue lo cantik dan menyenangkan. Itu cukup istimewa," jawabku sedikit heran.
Dia tersenyum, "Mungkin sih. Tapi let's face it. Kalau itu daya tarik utama gue, I'm so screwed. Liat aja deh di kampus, ada ribuan kali orang yang jauh lebih cantik dan menyenangkan dari gue."
Dia menatapku, masih dengan sepasang mata yang tampak bersinar. "Mungkin gue nggak istimewa sampai jadi kayak permata yang bersinar kemana-mana. Tapi gue bersyukur gue punya orang-orang kayak lo yang tetap bertahan sama gue meskipun gue biasa banget."
Aku tersenyum kecil dan menggeleng pelan, tidak menyetujui ucapannya dalam hati. Karena saat itu, bahkan meskipun aku tidak dapat menjelaskan alasannya, aku tahu dia begitu istimewa.
***
Looking back in who i was, don't recognize that guy,
I cant't imagine where I be, without you by my side.***
Dan disinilah kami sekarang. Di tengah kafe beruang. Di tengah bangku-bangku yang kosong, di tengah pelayan kafe yang tidak sedang bekerja.
Dan lucunya, setiap kali aku dengannya seperti ini, aku merasa aman. Sama seperti di dalam mobilku beberapa bulan yang lalu, aku merasa ada di tempatku di tengah dunia, dengannya, terlindung dari dunia di luar kami. Bahkan meskipun momen ini tidak tampak istimewa, bagiku ini istimewa, karena dia ada.
Dan tiba-tiba saja, di tengah momen itu aku mengerti kenapa Sarah begitu istimewa. Dia istimewa hanya karena dia Sarah.
Bahkan kalaupun dunia tidak melihatnya istimewa, bagiku dia istimewa.
Aku menatapnya yang sedang tertawa, dan hatiku terasa hangat.
Karena yang aku tahu hidupku tanpa dia tidak akan baik-baik saja.
I'm a better man, since i love you,
I'm a better man, since i love you.
When this crazy world, is off through,
I'll be a better man, cause i love you.(Lady Antebellum, Better Man)
KAMU SEDANG MEMBACA
The Stories of Us
General FictionOrang bilang cinta bisa terjadi kapan saja. Kita bisa saja mengantri di kantin, bertemu pandang dengan orang asing, dan tiba-tiba dunia kita jungkir balik begitu saja. Aku percaya pada jenis yang lain. Aku percaya cinta itu bukan seperti sambaran k...