Aku terbangun dari tidur siangku. Aku melirik jam dinding kamarku. Jam 3 sore, pikirku. Satu jam lagi seharusnya aku berada di rumah Sarah, menjalani rutinitas minggu soreku. Tapi rasanya aku demam, sekujur tubuhku rasanya panas, kepalaku pusing, tenggorokanku nyeri , dan sendi-sendiku ngilu.
Aku meraih ponselku dan menghubungi speed dial nomor 1. "Sarah, gue sakit," keluhku langsung setelah dia mengangkat ponsel. "Gue ke rumah lo sekarang ya. Mau gue bawain jus jambu?" katanya langsung. "Oke," jawabku.
Rumahnya tidak jauh dari rumahku. Tidak sampai 15 menit kemudian, dia datang. Rambutnya diikat satu, dia memakai kaos putih kusam dan skinny jeans biru. Begitu dia masuk kamarku, aku bisa mencium wangi bunga yang lembut. Aku merasakan perasaan lega yang aneh, rasanya begitu melihat dia, setengah masalahku selesai, meskipun tentu saja badanku rasanya masih remuk.
"Hei," sapanya lembut, sambil memeriksa suhu tubuhku, "agak demam, tapi belum parah sih."
Dia duduk di kasurku. "Nyokap lo masih di luar kota?" dia bertanya. Aku mengangguk. Setelah Papa meninggal, aku hanya berdua dengan Mama, yang kebetulan sedang meeting di Surabaya dari kemarin.
"Lo udah kabarin dia?" dia bertanya lagi. Aku menggeleng. "Sini, gue aja yang kabarin nyokap lo," dia meraih ponselku. Setelah beberapa menit, dia mengakhiri pembicaraan, matanya kembali ke arahku. Dia menyodorkan tempat minum plastik berisi jus jambu, "Minum jus dulu. Gue bikinin makanan ya? Kapan terakhir lo makan?"
Aku menggeleng. Aku bahkan lupa kapan terakhir aku makan, mungkin roti sarapan tadi, sebelum pergi ke gereja. Dia tersenyum iba. "Tunggu bentar ya," katanya lembut.
Rasanya aku tertidur lagi. Aku terbangun karena aroma sop dan sensasi dingin kompres di keningku. "Makan ya?" katanya sambil menyodorkan semangkuk sop.
"Kalau gue minta disuapin boleh ya?" tanyaku.
"Ngelunjak lo. Kagak! Makan sendiri lah, udah tingkat 3 juga nih," dia tampak menahan senyum.
"Gue lemes, Sarah, dan itu sop panas. Kalau nanti tumpah terus gue luka bakar gimana? Lo tega menambah luka pada penyakit?" entah kenapa aku masih sempat menggodanya.
Dia meniup poninya malas-malasan. "Fine," dia mencibir. Aku memperhatikan dia yang sedang menggerutu sambil meniup-niup sop. Mau tidak mau rasanya gemas juga. Temanku ini cantik, manis, lucu, meskipun dia sering tidak sadar. Sure, dia bukan cewek idola yang membuat orang menoleh kalau dia lewat, tapi dia semakin cantik kalau kulihat lama-lama.
"Sebenernya gue kaget elo sakit," katanya sambil menyodorkan sendok ke wajahku, iya ke wajahku, bukan ke mulut, tepat di depan hidungku. "Gue bisa kok makan lewat idung, ga usah ke mulut nyuapinnya," sindirku. Dia kemudian cemberut dan menurunkan sedikit sendok itu, "Ih, nyebelin," gerutunya. Aku tersenyum, gemas.
"Kok elo bisa sakit sih? Lo kan manusia tersehat sejagad raya?" dia melanjutkan omonganya sebelum kusindir. Aku mengangkat bahu, mengingat seminggu ke belakang aku tidur paling lama 3 jam, kemudian kuliah pagi, lalu rapat, masih ditambah makan tidak teratur, sebagian dari diriku sadar penyakit ini akibat kesalahan sendiri. "Ya gitu deh. Kurang tidur dan sebagainya. Mana anak mesin kan ada aja UTS malem," kataku. Kalau Mama mendengar ini, dia pasti mengomel dan aku tidak boleh ada di kampus setelah jam enam, minimal untuk seminggu ke depan.
Tapi Sarah tidak mengomel, dia hanya mengangguk mengerti sambil menatap khawatir. "Gue tau elo sibuk, tapi jangan sakit lagi ya," setelah berkata begitu dia menunduk dan semburat merah mulai menjalar di pipinya. Aku merasa hangat, jadi aku menepuk puncak kepalanya, ungkapan sayang. Bukan sayang yang seperti kepada pacar atau keluarga atau bahkan teman, hanya sayang, begitu saja.
Kami diam beberapa saat, aku jadi salah tingkah, dan mungkin dia juga. "Lo nggak ada tugas buat besok?" dia bertanya memecah hening. Aku jadi ingin tertawa, aku tahu dia bertanya begitu karena gugup, tapi mana ada orang yang merawat orang sakit terus malah mengungkit tugas kuliah.
"Lo udah gila ya? Gue lagi sakit, Saraaaaaaah! Tadi lo tega gue luka bakar, sekarang masih tega nyuruh gue ngerjain tugas. Kok lo tega?" aku menggodanya lagi. Dia cemberut lagi, "Ya ampun maksud gue tuh baik, Kenneth! Maksudnya kalau besok lo ada tugas dan belum beres, kan mau gue bantu sebisa gueeee!" dia merajuk. Aku tertawa dan menarik pelan ujung kucirannya, sambil memperhatikan ekspresi cemberutnya yang berubah jadi tawa.
"Tapi serius nih, gue mau bantu kok kalau emang bisa. Is there anything i can help?" dia bertanya setelah berhenti tertawa. Sebenarnya ada, laporan praktikumku belum selesai, hanya tinggal memasukkan data hasil pengamatan, lalu dirapikan sedikit, tapi rasanya aku tidak tega menyuruhnya. "Ada kan?" dia bertanya. Aku terpaksa mengiyakan dan menjelaskan.
"Kayaknya gue bisa kok kalau begitu doang sih," katanya yakin sambil meraih laptop, binder dan modul praktikumku. Dia menyodorkan mangkok sop setengah penuh, "Lanjutin makan sendiri deh, gue ngerjain tugas lo." Dia kemudian mulai mengerjakan laporanku, gayanya sudah seperti teman sejurusanku, seolah-olah dia mengerti apa yang ditulisnya.
Aku mengamatinya sambil makan. Dia memang selalu bisa diandalkan. Dia menoleh ke arahku, "Lo makan terus tidur!" katanya sok mengatur. Aku mengangguk berlagak patuh.
***
Sekitar jam 7 malam, aku terbangun. Yang kulihat pertama adalah Sarah, sedang membawa obat dan segelas air. "Ini ibuprofen, sebenernya lebih ampuh kalau lo minum tylenol diselingi ibuprofen setiap 4 jam, tapi di rumah lo nggak ada tylenol. Tapi rasanya ini cukup kok," dia mengakhiri kuliah farmasi singkatnya dan menyodorkan dua tablet ibuprofen. Dia mengamatiku sampai aku benar-benar minum obat.
"Laporan praktikum lo udah beres, ini udah gue print. Coba diperiksa dulu," dia menyodorkan beberapa lembar kertas. Aku membaca sekilas, dan hasilnya di luar ekspektasi. Dia mengerjakan dengan benar, bahkan masih sempat mengoreksi tata bahasaku. Aku menatapnya setengah kaget, setengah kagum, " Ini bener. Bagus banget malah. Kok bisa?" Dia tersenyum bangga.
"Kenneth, udah malem, mungkin sebaiknya gue pulang," katanya, "Masih ada sop di ruang makan, kalau nanti malem lo lapar tinggal panasin ya. Bisa kan? Nggak apa-apa kan?"
"Lo pulang sama siapa?" tanyaku sedikit cemas.
"Sendiri, kan rumah gue deket juga," jawab dia.
"Gue agak khawatir. Lo yakin nggak mau gue anter? Biar lo ada yang jagain minimal," kataku, bukan untuk sok kuat atau cari perhatian, tapi karena sejujurnya aku merasa bertanggung jawab untuk dia.
Dia tertawa kecil dan menepuk-nepuk kepalaku, seperti membujuk anak kecil. "Gue agak yakin elo nggak bisa balik ke rumah sendiri setelah nganter gue," katanya. Kemudian dia menatapku lebih serius, "Lagipula gue bukan princess yang harus lo jaga terus. Sekali-kali gue juga bisa kok jadi ksatrianya. Sekali-kali biar gue aja deh yang jagain lo, lo jangan khawatir tentang gue. Hari ini I'm your knight in shining armor. Lo bisa mengandalkan gue kok," lanjutnya.
Aku kehilangan kata sejenak. Terpana. Aku menatapnya dalam dan lama. For one so small, you seemed so strong, sepenggal kalimat lirik itu terlintas begitu saja di kepalaku.
"Elo kalau jadi ksatria juga entar mintanya baju zirah pink. Terus pake tiara berkilau. Gak cocok ah," aku bercanda, untuk menutupi keterpanaan. Garing, aku sadar. Tapi dia tertawa juga, "Ih elo, bikin antiklimaks ih."
Aku mengantarnya sampai pintu depan rumah. Dia menoleh sekali lagi ke arahku. "Kalau ada apa-apa kontak gue ya," pintanya. Aku mengangguk. Kemudian dia melambaikan tangannya dan menjauh pergi.
Saat dia menjauh, aku merasa terempas. Rasanya tidak rela, seperti ada yang diambil dariku, meskipun aku tahu kami bertemu lagi besok. Elo ksatria paling cantik yang gue tau, bisikku dalam hati, Truly, you are my knight in shining tiara.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Stories of Us
Ficción GeneralOrang bilang cinta bisa terjadi kapan saja. Kita bisa saja mengantri di kantin, bertemu pandang dengan orang asing, dan tiba-tiba dunia kita jungkir balik begitu saja. Aku percaya pada jenis yang lain. Aku percaya cinta itu bukan seperti sambaran k...