Andai engkau tahu, ku siap mati untukmu
Aku melihat kalender lalu tetsenyum. Hari ini tanggal 14 Januari. Hari anniversary pernikahanku dengan Jennie.
Aku bersiap-siap menemuinya. Aku sangat bersemangat. Kupetik setangkai mawar dari halaman. Kubersihkan durinya lalu mengikatnya dan menghiasnya sedemikian rupa.
Aku berangkat menemuinya. Dengan satu ikat bunga mawar merah kesukaannya.
Senyum tak pernah luntur menghiasi wajahku. Aku ingat saat ulang tahun pernikahan kami yang pertama aku juga memberikan bunga mawar padanya. Dia terlihat bahagia dan memelukku sangat erat.
Aku sampai. Aku mencari keberadaannya. Dan menemukannya.
"Selamat ulang tahun pernikahan yang ke sepuluh sayang..." aku tersenyum meletakkan seikat bunga itu diatas makamnya.
Tempat peristirahatan terakhirnya selalu rapi dan bersih, tak lupa selalu ada bunga diatasnya. Aku hanya ingin tempatnya terlihat indah meski hanya sebatas kuburan.
Namanya terukir indah disana. Ku mengusapnya, menghilangkan debu yang mengotori namanya.
"Dear Jennie, I miss you." gumamku.
Satu-satunya bagian yang tak aku ceritakan adalah pada tahun ke-8 pernikahanku dengan Jennie. Dia pergi untuk selama-lamanya.
***
Di ruang tunggu ICU, Rosé dan keluarga Jennie sedang menunggu pemeriksaan dokter. Semalam penyakit Jennie kembali kambuh. Namun tak seperti biasanya, kali ini dia merasakan sakit hingga menangis.
Rosé tak bisa melihat tangisan Jennie. Dia tak apa jika tuhan akan mengambilnya sekarang. Bukan karna dia tak mencintai Jennie lagi. Justru karna dia sangat mencintainya. Dia tidak bisa melihat Jennie terus terusan merasakan sakit karna penyakit yang Jennie idap.
Dokter keluar dan menatap Rosé iba. "Rosé-ssi"
Rosé menghampiri Dokter. "Anda bisa menemuinya sebelum dia... Ah silahkan masuk"
Rosé tahu apa arti dari ucapan dokter. Dia memasuki ruangan Jennie hatinya hancur melihat Jennie berbaring tidak berdaya dengan berbagai alat medis menempel di tubuhnya.
Rosé menetralkan nafasnya. Dia tidak mau Jennie melihat tangisannya. Oke, dia siap.
"Hai Park Jennie" ucap Rosé tersenyum lembut.
"Hai Park Chaeyoung" ucapnya dengan suara yang lemah. Bahkan disaat seperti inipun dia masih bisa tersenyum.
"Apa yang kau rasakan? Apa sakit?" tanya Rosé mengusap rambut hitam Jennie.
"Entahlah. Jika tuhan memintaku untuk pulang... Jangan menangis eoh?"
Rosé menggeleng. Tenggorokkannya sakit untuk berbicara. "Aku tidak bisa janji"
"Jika kau menangis aku akan marah"
Rosé terkekeh.
"Jangan menjadi orang yang lemah. Jangan lupa urus tanamanku"
Rosé mengangguk lagi.
"Hey katakan sesuatu" ucap Jennie.
Rosé mendongkak. "Saranghae"
Jennie tersenyum. "Nado saranghaeyo."
Jennie merasakan tubuhnya kembali sakit. "Ahh s-sakit, Jika ini sudah waktunya. Aku pergi eoh?"
Rosé tersenyum menahan air matanya. "Tunggu aku. Aku akan menyusulmu" ucap Rosé lirih.
Tiiiiiiiit
Monitor disamping mengeluarkan suara. Garis yang tadi bergelombang sekarang lurus. Jennie menghembuskan mafas terakhirnya.
Air mata yang sedari tadi dibendung kini tumpah juga. "Saranghae Park Jennie. Tunggu aku" ucap Rosé lalu mencium kening Jennie.
****
Keesokan malamnya, tepat pukul 9 malam tanggal 15 Januari, Aku terdiam menatap perapian. Tanganku berada di kursi sampingnya. Biasanya Jennie menggenggam tanganku. Tapi sekarang tidak lagi.
Tiba-tiba aku merasakan tanganku digenggam tangan lain. Aku menoleh dan melihat bayangan Jennie sedang tersenyum padaku.
Jennie menyandarkan kepalanya di bahu ku. "Bogoshipda"
Aku menatapnya. Jennie sedang tersenyum. "Ayo bertemu"
Aku mengernyit. Apa maksudnya? Tiba-tiba bayangan Jennie perlahan hilang terbawa angin.
Aku menyesap teh yang mulai mendingin. Tapi tiba-tiba dada kiriku sakit. Cangkir di tanganku terlepas dan pecah terbentur lantai.
Aku memegang dadanya. Rasanya sakit. Sangat sakit. Aku berjalan menuju kamar untuk meminum obatku dengan susah payah.
Aku terus mencoba bergerak. Hingga aku tak lagi punya kekuatan, dan terjatuh. Semuapun gelap.
***
Aku terbangun melihat sekeliling. Ini bukan rumahku. Kulihat pohon besar didepan sana. Dan sebuah kursi taman dibawahnya dengan seseorang duduk diatasnya.
Aku mengucek mataku. Aku tak salah lihatkan? Dia Jennie. Orang yang sangat aku cintai sedang duduk dihadapanku.
"Jennie..." gumamku.
Jennie menoleh lalu tersenyum. Dia bangkit lalu berlari kearahku dan memelukku erat.
"Aku sudah menunggumu sangat lama" ucapnya.
Aku memeluknya erat mengecup pucuk kepalanya berkali-kali. Rasa senang, rindu, khawatir, dan tentunya cinta beradu satu.
Pelukan kami terlepas. "Kau nyata?" ucapku tak percaya.
Dia mengangguk "Kali ini kita taakan bisa terpisahkan lagi. Bahkan Tuhan sekalipun"
"Apa maksudmu?"
"Sekarang kita berada di dunia yang sama"
Aku mencoba mengingat apa yang terjadi. Tak lama senyum mengembang di wajahku. Aku kembali memeluknya. "Maaf membuatmu menunggu lama"
Dia mengangguk.
***
Breaking news16 Januari tahun XXXX
Roseanne Park, fotografer asal Seoul ini ditemukan tewas dirumahnya oleh seorang mahasiswa tingkat akhir yang bernama Kim Jongin. Diduga, beliau tewas karna serangan jantung dadakan.
***
FlashbackJongin hendak pergi berkunjung kerumah Rosé, namun sudah beberapa kali menekan bell tapi tak ada sahutan. Dia membuka pintu dan tak dikunci.
Dia mencari keberadaan Rosé. Perapian masih menyala, dia terus mencari hingga menemukan dia sudah tergeletak tak bernyawa dibawah tangga.
***
Hal tak terduga. Ternyata malam itu aku pergi menuju ke alam Jennie. Di hari ulang tahunnya, aku menyusulnya ke surga.
_The End_

KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Jennie
Fanfiction🚫Mengandung bawang🌋 Dengarkan lah aku, cerita hatiku, cerita tentang seorang yeoja yang berhasil mencuri hatiku saat pertama kali melihat senyumannya. Biar kuceritakan, betapa aku sangat mencintai yeoja yang murah senyum itu, hingga akhirnya...