New Home

29 8 1
                                    

🐣🐣🐣

Semuanya tragedi pasti ada hikmahnya, baik atau buruknya bukan kita yang menentukkan. Kita hanya boneka yang akan merasakan sakit saat sang pengendali memberikan takdir yang sama sekali tidak kita inginkan.

Kemegahan dan kekayaan bukan segalanya, tapi Bunda rela membuangku demi mendapatkan dua kata itu. Haruskah aku membenci Bundaku sendiri? Haruskah aku menerima semuanya dengan lapang dada?

Kubuka buku memo yang Bunda Shin Hye berikan padaku setelah keluar dari rumah sakit, dia bilang buku itu dari suaminya dulu. Aku banyak belajar dari Bunda Shin Hye, dia mengajariku menulis dan membaca, mengajarkanku menggores tinta perlahan hingga membentuk rangkaian kata.

Aku menulis dengan serius di meja makan, sementara Bunda berada di dapur, jaraknya tidak jauh, sebab rumah Bunda bukanlah rumah mewah seperti milik Ayah tiriku. Ah! Aku jadi merindukan Chenle, dia melarangku memanggilnya kakak, karena itu akan memberikan kesan jika dia lebih tua, tapi memang itu kenyataanya.

"Kemarin, Bunda membuangku. Aku tidak merasa kecewa, karena Tuhan juga mempertemukanku dengan Bunda Shin Hye. Hari ini Jisung senang karena Bunda Shin Hye mengajari Jisung menulis dan membaca. Dia memasak daging dan telur yang enak, Jisung sangat suka. Seperti masakkan restoran yang dulu pernah Bunda dan Jisung datangi. Bunda, Jisung kangen Bunda. Jisung sayang Bunda, Bunda Shin Hye, Chenle, dan Ayah."

Begitulah yang aku tulis, dengan suara yang sedikit keras agar ejaannya benar, memang tidak bagus tapi masih bisa dibaca, aku terlalu asik menulis hingga tak menyadari tatapan sendu Bunda Shin Hye dari dapur.

"Jisung! Bantuin Bunda nak!"

"Iya Bun!"

Aku berlari kecil, menghampiri Bunda yang tengah mencuci piring, dia memberikan dua gelas yang baru saja dicuci dan basah, aku paham. Aku mengambilnya dari tangan Bunda kemudian membawanya ke rak yang diisi banyak piring dan gelas.

Pyar!

"Jisung awas!"

Satu gelas jatuh dari tanganku, gelas itu licin karena terkena sabun. Aku langsung meletakkan gelas yang masih utuh kemudian berlari dan memunguti gelas pecah.

"Udah biar Bunda aja, kamu lanjut belajar."

Bunda mengambil pecahan gelas yang sudah aku pegang, aku menunduk, aku merasa bersalah, bukannya membantu tapi malah menyusahkan, dasar aku!

"Bun."

"Iya?"

"Maaf."

"Udah sayang, nggak papa kok. Kamu lanjut belajar gih, biar Bunda yang beresin."

Dia tersenyum padaku, aku sedikit lega, dia begitu baik. Tangannya terulur untuk mengusap pipiku lembut.

"Sana belajar."

"Iya Bun."

Aku kembali ke meja makan, kupandangi buku memo itu dalam diam. Haruskan aku menulis kejadian ini? Aku membuka lembaran buku memo paling belakang dan menggoreskan tinta bolpenku.

"Hari ini, Jisung menyusahkan Bunda, Jisung memecahkan gelas dan Bunda harus membersihkannya. Maaf Bunda."

Kali ini tanpa suara, aku menulis yang sama persis di bawah tulisanku sebelumnya. Aku merobek kertas bagian belakang dan melipatnya serapi yang aku bisa. Berlari kembali ke dapur dan menyembunyikan kertas itu di punggung. Bunda tengah menyiapkan makan malam.

"Bun."

"Iya sayang?"

Aku memberikan kertas itu dengan kepala menunduk, aku sebenarnya malu jika harus bersikap manis. Dia menerima kertasku, aku gugup. Aku mendengar sebuah kekehan kecil, kemudian kurasakan sebuah jari mengangkat daguku.

Scramble || On GoingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang