Keluarga Tak Kasat Mata #2

33 10 9
                                    

Aku memasuki pintu di samping pintu kamarku. Awalnya aku mengetuk namun tidak ada jawaban. Aku menggenggam gagang pintunya dengan ragu. Perlahan ku putar dan tidak di kunci. Pintu terbuka menampakan sedikit demi sedikit isi ruangan. Aku dorong kayu ini dengan hati-hati. Maka terlihatlah seorang gadis tinggi yang berdiri membelakangiku. Aku berjalan mendekatinya sambil menahan nafasku karena takut dia merasa terganggu. Aku berhenti sebentar. Menelaah satu ruangan yang aku pikir ini sama besarnya dengan kamarku. Ya, aku berada di kamarnya Sojung.

"Aku tak bermaksud begitu" ucapnya tiba-tiba membuatku hampir berteriak sebab terkejut. Ya ampun bikin rip jantung banget si ni orang. Sabar.. sabar.

Dia menolehkan kepalanya tepat pada posisiku berdiri dan menatapku seolah sedang membaca pikiranku. Dia berbalik dan duduk di pinggir kasurnya dan menepuk bagian sebelahnya menandakan aku boleh duduk. Aku awalnya ragu, namun aku urungkan setelah iba melihat pandangannya yang memancarkan kesedihan dan membuang muka kearah jendela lagi. Pasti ada sesuatu.

"Aku tidak tahu apa yang terjadi diantara kalian. Tetapi jika kau butuh seseorang untuk kau tumpahkan segalanya maka aku tepat di hadapanmu" ucapku tak yakin. Aigoo, aku harus bagaimana ini?

"Kau akan tahu beberapa hari lagi" katanya yang masih memandang jauh kearah jendela.

"Aku mengerti jika kau tidak ingin bercerita.." ucapku terpotong. Entah kemasukan angin apa aku mulai meraih tangannya dan menggenggamnya. Sepertinya itu bekerja, Sojung sontak mengarahkan matanya menatapku. Menunggu lanjutan kalimatku yang terputus.

"Tapi aku mohon janganlah bersikap dingin di hadapanku. Mungkin seperti kau bilang, suatu hari nanti aku akan mengetahuinya. Namun bukan berarti sebelum hari itu kita jadi bermusuhan, kan? Kita tinggal serumah untuk waktu yang tidak ku ketahui, jadi selama itu pula aku akan berusaha. Aku tidak akan membiarkanmu kesepian mulai sekarang." ujarku panjang lebar sok bijak, sejak kapan aku jadi seorang dramatis?

"Jadi aku mohon terbukalah denganku" lanjutku dalam hati dan mulai menunduk.

Dasar Eunha payah. Apa kau akan mulai menangis? setelah kata mutiara mu kau lontarkan kepada gadis di depanmu untuk memberinya semangat tapi kau sendiri justru menangis? Tidak. Aku juga mengatakan itu untuk diriku sendiri. Selama ini aku hanya berharap ada seseorang yang berbicara seolah dia mengerti dan bersedia berbagi pundak denganku. Namun itu hanya harapan yang bahkan tidak sampai ku gantung setinggi langit.

Apa aku terlalu naif jika takut melihat cerminanku pada hidup orang lain?

"Miandago" katanya, kemudian menghapus air mata ku yang sudah terjun bebas dari posnya. Aku mendongak, mata kami bertemu. Beberapa detik kami saling menatap tanpa suara lalu dia memelukku. Kali ini aku bisa merasakan kehangatan darinya.

"Aku akan menyelamatkanmu dari penderitaan itu, aku janji" ucapku dalam hati.

***Beberapa jam kemudian***

[15.10] Halaman Belakang Rumah

"Wah ayah sepertinya terlambat ya" ucap si ayah menghampiri kami yang sedang duduk beralaskan tikar tipis di bawah cahaya senja.

"Gwaenchana appa. Kami juga baru sampai disini" ucap Sojung menanggapi perkataan ayahnya, atau mungkin bukan? Ah entahlah karena dia sendiri yang memanggilnya 'appa' barusan.

Si ayah duduk di tengah-tengah kami dan mulai menikmati pemandangan ini. Sejauh ini aku belum mengetahui nama pria dewasa atau yang ku sebut si ayah ini. Aku tidak menyadari sejak kapan aku mulai menikmati kebersamaan keluarga ini. Rasanya ada yang mengisi bagian hatiku yang kosong yang belum pernah ku rasakan selama aku hidup. Ah, apa aku bisa menjadi bagian dari mereka?

Indeed StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang