Dejavu

25 9 9
                                    

"Sudah mulai gelap ayah" ucap seseorang membuyarkan nostalgia ku. Sojung lah orangnya.

"Ah kau benar nak. Apa kau bersedia menyimpan sisanya untuk besok Eunha?" tanya ayah menghadapku. Sebenarnya aku sangat malas jika ceritaku harus dipotong mentah-mentah. Tapi apa boleh buat, ada sesuatu yang harus ku patuhi di rumah ini.

"Jangan keluar rumah pada malam hari sekalipun rumah ini terbakar" 

Ucapan Sojung masih terus terngiang di kepalaku. Meskipun aku tidak tahu alasannya namun aku bukan tipe yang membahayakan diri sendiri hanya demi memuaskan rasa penasaranku.

Kami merapihkan tikar yang tadi kami jadikan alas duduk kami. Benar-benar gelap. Aku segera masuk ke rumah diikuti Sojung di belakangku. Ayah mengucapkan selamat malam pada kami kemudian masuk ke kamarnya.

"Selamat malam juga yah" ucap Sojung yang diikuti anggukan olehku.

Aku menaiki tangga dan Sojung masih membuntutiku. Saat sampai di depan pintu kamarnya aku berbalik.

"Apa kau akan mengatakan sesuatu?" tanyaku sambil mendongak untuk melihat matanya. Tidak ada jawaban. Aku berbalik dan sedikit berjalan ke kamarku. Tanganku ditarik dari belakang.

"Tidur bersama?" ujarnya, ragu? Aku tersenyum. Dia lucu juga saat malu.

"Ya tidak masalah" ucapku kemudian memberi kode bahwa aku harus ke kamar mengganti pakaian.

Malam ini biasa saja. Kami juga tidur dengan berjarak dua guling yang tidak kami pakai. Sojung menghadap jendela, aku menghadap pintu kamar. Saling membelakangi. Paginya aku terbangun karena merasakan sesak pada dadaku. Aku mencoba membuka mataku dan membulatkan mataku saat ku lihat Sojung memelukku sambil menindihkan kakinya yang sebesar tubuhku. Aku lalu mendorong kakinya dan dia sedikit bergerak kemudian membelakangiku. Aku bangun dan berjalan kearah jendela. Membuka penutupnya dan terlihatlah padang rumput sejauh mata memandang. Cahaya Matahari menusuk mataku seketika itu aku membuang mukaku. Berbalik memperhatikan Sojung yang masih terlelap dengan selimut yang menutupi seluruh bagian tubuhnya.

"Gadis misterius" gumamku.

Aku kembali ke kamarku kemudian mandi dan turun ke dapur bersiap untuk sarapan.

Sampailah aku di dapur dan mematikan setiap lampu yang ku lewati dalam perjalanan. Aku membuka kulkas, persediaan bahan makan masih melimpah. Aku segera mengambil beberapa bahan yang familiar dengan resepku. Aku akan membuat telur gulung dengan nasi yang dicampur kimchi untuk sarapan porsi 3 orang.

"Wah rajin sekali anak ayah sudah membuat sarapan sepagi ini" ucap ayah kepadaku. Aku terkejut, sejak kapan aku mulai memanggil pria itu dengan sebutan ayah? Aku diam lalu menunduk, menyembunyikan sakit hatiku yang tanpa alasan kembali menganga. Menutup rapat-rapat mulut agar tidak terdengar suara isak.

"Kau duduklah, biar aku yang lanjutkan" ucap seseorang di belakangku lalu mengambil spatula dari tanganku dan mengambil alih tugas memasak sarapan. Aku meliriknya kemudian memberi celemek yang ku pakai kepadanya. Aku duduk di depan pria dewasa itu.

"Kabar baik hari ini ayah sedang cuti. Ayah bisa seharian memantau kalian di rumah" ucap ayah lagi. Tunggu, aku menyebutnya dengan sebutan 'ayah' lagi. Arrgghh. Ini sangat menyakitkan. Aku merasakan pria itu menatapku bingung. Kemudian belum selesai acara senyum palsu ku Sojung sudah mendekati meja dengan makanan yang sudah siap. Dia datang dengan senyum merekah di wajahnya. Rasanya lega dia datang di waktu yang tepat.

"Senyumnya juga indah" ucapku dalam hati.

"Eunha, berhubung kau baru tinggal disini, bagaimana kalau kau berkeliling rumah ini?" ucap pria itu menatapku kemudian di akhir dia berpaling menatap Sojung.

Indeed StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang