Aku menutup kedua bola mataku, berharap semua hal akan berjalan baik-baik saja jika aku berpura-pura tidak tahu.Aku mengunci hatiku, membekukannya, berharap diriku akan bertahan jika aku tak merasakan apa-apa.
Aku hanya mengikuti langkah kakiku, aku mengandalkan logikaku.
Aku seolah berjalan dalam gelap dan jalan yang kulalui tak pernah kudapati pangkalnya, titik akhirnya.
Aku tak pernah menemukan cahaya, yang mengelilingiku hanya malam tanpa pernah menjadi pagi.
Aku takut, namun aku harus tetap hidup.
Aku ingin hidup.
***Adrian menyadari bahwa gadis itu tengah menatapnya lekat-lekat sementara dia sedang sibuk mencari benda yang dapat ditandatangani dengan memeriksa setiap saku yang ada dipakaiannya saat ini. Gadis itu pasti berfikir bahwa dia adalah seseorang yang konyol karena datang tiba-tiba dan meminta tanda tangan namun tak mempersiapkan tempat dimana tanda tangan itu akan dituliskan, bahkan lebih tepatnya tidak tahu dan berakhir kebingungan.
"Kalau boleh, bisakah kau tanda tangan di sapu tangan ini saja?" Adrian buru-buru bertanya ketika dirinya berhasil menemukan sapu tangan tipis yang terlipat di salah satu saku belakang celana dasarnya, diam-diam dia merutuki dirinya sendiri karena tak dari awal merasakan keberadaan saputangan berwarna abu-abu itu.
"Baiklah." Gadis itu tak banyak berkomentar, tangannya terulur untuk mengambil sapu tangan abu itu dari tangan Adrian.
"Ah tidak, tapi aku tidak punya pena." Adrian baru ingat jika dia tidak memiliki benda berisi tinta itu, dia kesal sendiri, kenapa keadaanya tidak mendukung seperti ini.
Pada akhirnya Adrian menyerah "Sepertinya sekarang belum waktunya aku bisa mendapatkan tanda tangan anda-"
"Aku membawanya." Namun belum selesai Adrian mengatakan perkataannya, gadis itu dengan cepat memotongnya.
"Hm?" Adrian merespon, dia mendengar ucapan gadis itu, namun dia hanya perlu memastikan bahwa kedua telinganya tidaklah salah.
"Aku membawanya, kau tidak perlu khawatir aku akan menandatanganinya." Tutur gadis itu yang kemudian mengembangkan senyumannya dan segera mengambil pena dari dalam tas selempang yang dibawanya.
"Maaf, mungkin ini terdengar tidak sopan, tapi jika anda kesulitan untuk membuat tanda tangan karena tidak ada alas-" Ketika gadis itu telah sepenuhnya mengeluarkan pena, Adrian tiba-tiba membuka suaranya sehingga gadis itu memberikan perhatiannya kepada Adrian.
Adrian sebenarnya sedikit tidak enak untuk mengatakan apa yang hendak dia katakan ini, namun mengingat bahwa sepertinya akan sulit bagi gadis itu menulis di kain tanpa alas, tak ada alasan lagi baginya untuk tidak menawarkan bantuan
Adrian berdehem pelan "Anda bisa menjadikan punggungku sebagai alasnya." Katanya kemudian.
"Oh." Gadis itu mengangguk setelah melihat sekitarnya, mungkin dia berfikir bahwa tidak ada kursi disekitar mereka "Aku akan coba dulu dengan telapak tanganku." Ucapnya dan Adrian membiarkannya mencoba menulis diatas sapu tangan yang beralaskan telapak tangan kirinya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Destiny
Romantik"Aku hanya ingin..." Dia tersenyum miris "Dia melihatku sekali saja sebagai seorang wanita." Lanjutnya lirih dengan airmata yang mengalir di kedua belah pipinya. *** Kisah Anastasia seorang ballerina yang hidup dalam kesepian dan takdir yang mempert...