"Ibu, Ibu...." Seorang anak kecil berlari mengejar wanita yang ia sebut sebagai Ibunya sambil mengangkat kedua tangannya keatas bergerak seolah hendak menggapai sesuatu.Wanita berparas cantik itu mengerti maksud dari putri bungsunya, ia ingin digendong dan dengan sigap wanita itu menangkapnya lalu membawanya dalam gendongan.
"Aku rindu Ibu...." lirih putrinya yang kini genap berusia empat tahun dengan cara bicaranya yang masih cadel.
"Ibu juga..." kata wanita itu seraya menepuk kepala sang putri lembut.
"Ibu kenapa sekarang sering pergi?" Putrinya itu mulai terisak.
"Ibu sibuk sayang..." jawabnya lembut
"Tapi, tapi ibu juga tidak pulang kerumah..." sela putrinya itu.
Wanita itu tersenyum, rupanya sang putri kecilnya sudah sangat pintar.
"Sea, ayo turun, ibu harus pergi lagi." Sebuah suara berat menginterupsi kegiatan ibu dan anak itu.
"Ayah..." anak itu tahu bahwa suara itu berasal dari ayahnya.
"Aku mohon, sebentar saja lagi..." Pinta wanita itu.
"Tidak bisa, kau harus cepat pergi, aku sudah memberikan kesempatan bukan?"
"Baiklah..." Pada akhirnya wanita itu menurunkan putrinya dari gendongannya.
"Sea, dengar ibu baik-baik." Katanya kemudian sambil berjongkok didepan putrinya.
"Ibu akan pergi cukup jauh untuk mengurus sesuatu dan tidak bisa pulang kerumah dengan cepat, tapi Sea harus berjanji untuk jadi anak baik meski tidak ada Ibu disamping Sea." Tutur wanita itu lembut dan perlahan-lahan.
"Apa Sea mengerti?" Tanyanya memastikan.
"Um, Sea mengerti." Tanggap putrinya itu "Tapi, ibu nanti tetap akan pulang kan? Sea janji akan jadi anak baik." Lanjutnya kemudian dengan raut wajah yang dibuat seserius mungkin meski dimata wanita itu putrinya justru sangat menggemaskan.
"Iya, tentu." Katanya sambil tersenyum tulus kemudian memberikan kecupan di dahi sang putri.
"Janji?"
"Janji."
***
Hari itu, angin bertiup cukup kencang membuat daun-daun pepohonan berguguran, langit nampak berwarna abu, pertanda akan datangnya hujan.
Semua orang berpakaian hitam, mereka mengelilingi tempat peristirahatan terakhir dari kerabat, teman juga keluarga mereka. Tanah itu masih lembab, seseorang barusaja tenggelam abadi didalamnya.
Sea terus terisak disamping kakak perempuannya sambil menggenggam telapak tangan sang Kakak yang terasa dingin.
"Kakak, Sea gak mau Ibu pergi." Anak yang umurnya kini hampir lima tahun itu sudah mengetahui bahwa sang Ibu telah tiada dan dia tidak akan pernah bertemu dengan wanita yang dia cintai itu lagi selamanya, setidaknya itulah yang dikatakan sang kakak perempuan yang masih setia berdiri disampingnya.
"Kakak..." Tidak mendapatkan respon dari sang kakak, Sea sejenak mengarahkan pandangannya untuk melihat wajah sang Kakak.
Raut wajah kakaknya tak mengartikan ekspresi apapun, sang kakak hanya fokus melihat orang-orang yang berkerumun di pusara terakhir Ibu mereka.
"Sea." Sea tersentak ketika sang Kakak menyebut namanya seraya lebih menggenggam erat tangan mungilnya.
"Kamu tidak perlu khawatir, Ibu sudah tidak ada, maka Kakak yang akan menggantikannya untukmu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Destiny
Romansa"Aku hanya ingin..." Dia tersenyum miris "Dia melihatku sekali saja sebagai seorang wanita." Lanjutnya lirih dengan airmata yang mengalir di kedua belah pipinya. *** Kisah Anastasia seorang ballerina yang hidup dalam kesepian dan takdir yang mempert...