ENAM

29 9 0
                                    

Happy reading

Melihat anak perempuan yang tengah bermain di pekarangan rumah mampu mengingatkan Maya akan sosok putrinya, Deandra ketika berusia enam tahun. Semasa kecil, Deandra selalu memilih bermain mobil-mobilan dibandingkan boneka entah karena alasan apa.

Sekarang Maya tidak bisa melihat wajah putrinya untuk beberapa hari ke depan sebab saat ini dia dan suaminya berada di Yogyakarta, tepatnya di rumah mama mertuanya. Mereka datang ke kota ini secara mendadak dan terpaksa meninggalkan pekerjaan di Jakarta.

Jika mengajak Deandra untuk ikut bersama mereka sepertinya akan jadi bencana besar, Deandra selalu menolak pulang ke kota asalnya karena sudah nyaman tinggal bersama kerabat, terlebih lagi banyak tempat wisata dan cocok dikunjungi saat berlibur.

Sebenarnya Maya tidak ikhlas meninggalkan putrinya seorang diri di Jakarta, dia sangat tahu bagaimana sifat putri satu-satunya. Ditinggal ke warung untuk membeli sesuatu yang istilah waktunya tidak sampai berjam-jam, Deandra begitu panik dan mencarinya.

Sempat terlintas dalam benaknya supaya Elvan mau menemani Deandra selama mereka menginap disini, akan tetapi suaminya itu tidak memberikan izin dengan alasan, Elvan dan Deandra belum ada kata halal baik secara agama maupun hukum di Indonesia.

"Aku ini laki-laki jadi tau bagaimana pikiran kaum adam ketika berada di satu atap apalagi belum ada ikatan halal. Aku gak mau sampai terjadi apa-apa dengan Deandra." Begitulah kata Pram ketika Maya menanyakan alasan yang membuat suaminya menolak.

Oleh karena itu, Maya dan Pram memutuskan untuk menitipkan putrinya pada keluarga Elvan dan tinggal disana sementara waktu, meskipun mereka tidak enak hati menyusahkan keluarga Bisma. Setidaknya masih ada orang lain yang mengawasi gerak-gerik mereka.

Maya, perempuan itu menatap putrinya lekat-lekat dari layar ponsel miliknya. Ini untuk pertama kali setelah sekian lamanya, Maya melihat Deandra menangis seengguk-enggukkan. Hal itu membuat dadanya terasa sesak dan hatinya merasa sedih.

Benar ya kata orang jika sudah menjadi ibu lalu melihat anaknya menangis, tidak ada satupun seorang ibu di dundia ini yang tak bisa merasakan. Ditambah lagi, Maya sangat-sangat merasa bersalah karena tidak memberitahu Deandra mengenai keberangkatan mereka.

"Udah dong sayang, kamu nangis terus nanti matanya jadi sembab loh. Bunda minta maaf ya gak bilang-bilang kamu dulu kalo mau pergi. Ini juga mendadak banget, bunda udah telepon kamu tapi gak aktif."

"Hua ... bunda jahat banget sama Dea. Bunda gak tau 'kan kalo aku kangen pake banget sama bunda. Bunda kapan pulangnya? Jangan lama-lama disana."

"Bunda jauh lebih kangen. Rasanya bunda pengen meluk kamu."

"Kita berpelukan kaya teletabis, bun."

"Kamu baik-baik sama keluarganya Elvan. Jangan bikin mereka repot, jangan bikin ulah. Oh iya, uang jajan kamu udah bunda titipin ke tante Syahnaz ya. Kalo Dea butuh apa-apa terus uangnya kurang, pinjem aja ke tante nanti bunda bayar."

"Bunda emang paling pengertian deh, muach, sayang bunda."

"Giliran dibilang ada uang aja langsung berenti nangisnya, dasar, anak siapa sih?"

"Tante, jangan lupa bawa oleh-oleh ya. Jangan dikit, tan, nanggung!"

"Astagfirullah, Elvan kenapa kamu ngagetin tante sih."

"Hehe ... ya maaf tan. Btw, tante lagi ngapain disana? Pasti bulan madu ya sama bapak Pram." Elvan menunjukkan wajah menggodanya.

"Sok tau kamu, neneknya Dea itu sakit makannya kita disini."

I Still love YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang