6. Menikah?

3.9K 716 88
                                    

.
.
.
.
.

Hampir dua minggu Taeyong bekerja di WORK COMPANY, selama itu keadaan baik-baik saja dan keberuntungan selalu memihak Taeyong. Ia banyak di puji oleh seniornya karena memiliki kinerja yang baik sebagai pegawai baru.

"Yong, ayo makan siang dulu," Pundak Taeyong ditepuk teman kerjanya, Yuta, "Kerjaan bisa dilanjut nanti."

Taeyong mengangguk. Ia mengeluarkan kotak bekalnya. Sengaja Taeyong membawa bekal seperti ini, meski hanya nasi dan goreng telur, daripada harus membeli di luar. Mubazir dan belum tentu menyehatkan. Ah, alasan lebih tepatnya, Taeyong tidak memiliki uang untuk membeli makan dari luar.

"Nggak makan di luar aja? Biar gue traktir," Kata Yuta.

Taeyong menggeleng, "Nggak apa-apa Yut, gue makan ini aja," Taeyong sangat bersyukur bisa bertemu dengan orang seperti Yuta, humble dan welcome sekali pada orang baru sepertinya. Kalau Yuta tidak mendekati Taeyong duluan, mungkin sampai saat ini Taeyong tidak memiliki teman. Karena Taeyong sendiri adalah orang yang tertutup.

Yuta tersenyum seraya mengangguk, "Yaudah, gue cari makan dulu ya."

Sepeninggalnya Yuta, Taeyong fokus memakan bekalnya. Di ruangannya sekarang sangat sepi, karena pegawai lain lebih memilih makan di luar daripada harus membawa bekal.

"Bekalnya di masakin istri ya? Lahap banget saya liat," Taeyong menoleh, ternyata tidak semua orang pergi ke luar. Ada Pak Mukhlis di sana. Taeyong sempat tidak melihatnya karena wajah Pak Mukhlis tertutup layar komputer tadi.

"Enggak Pak," Sanggah Taeyong, "Ini masak sendiri. Lagian saya belum punya istri," Kedua sudut bibirnya terangkat.

"Oh ya? Saya kira udah nikah. Soalnya tiap hari kamu bawa bekal terus. Jarang-jarang pegawai di sini terutama laki-lakinya bawa bekal. Kecuali saya sih," Cengir Pak Mukhlis. Ia menarik kursi dan duduk di samping Taeyong, "Gimana kerja di sini? Enak?"

Taeyong mengangguk.

"Walau gajinya nggak terlalu besar?" Tanya Pak Mukhlis, lagi.

Taeyong kembali mengangguk, "Saya malah bersyukur banget Pak bisa kerja di sini. Lumayan, uangnya bisa dipakai untuk adik-adik saya walau sedikit."

Pak Mukhlis tersenyum. Ternyata benar, Taeyong orang yang ramah dan baik. Ia tidak terlalu mengetahui pemuda ini karena jarang mengajak Taeyong berbincang.

Pak Mukhlis menepuk pundak Taeyong, "Jangan lupa, sisihkan uangnya juga buat biaya nikah," Candanya.

Jika Taeyong sedang berbahagia karena pekerjaan barunya, berbeda dengan Dinda yang sedang kesal karena Jeno membatalkan janjinya yang akan mengajak Dinda nonton seusai kelas nanti.

Gadis itu lantas memasukkan ponselnya kembali ke dalam tas setelah menerima pesan dari Jeno, "Kenapa sih Jen, akhir-akhir ini lo sibuk banget," Gerutunya. Padahal ia sudah menunggu di dekat parkiran motor Jeno.

"Woi Din," Zoa berlari menghampiri Dinda, "Lo lagi nunggu Jeno?" Tanyanya ketika sampai di hadapan Dinda.

Dinda menggeleng, "Enggak. Gue mau balik."

"Sendiri?"

"Hm," Sahutnya seraya berjalan.

"Gue ikut ke rumah lo boleh nggak? Di rumah sepi, nggak ada bokap sama nyokap."

Success ; Taeyong [END✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang