20. Masih Belum Siap

3.3K 629 45
                                    

Nanggung satu chapter lagi baru hiatus hehehe

.
.
.
.
.

Dinda benar-benar mengabuli permintaan Taeyong, dia tidak pernah mengunjungi Hari lagi setelah malam itu. Bahkan tiga tahun telah berlalu, Dinda tidak pernah lagi menemui Hari secara langsung, namun wanita itu masih sering menghubungi Hari diam-diam lewat hp untuk menanyakan kabar. Dinda juga sering mengirimkan uang atau pakaian pada Hari tanpa sepengetahuan suaminya.

Ting!

Hp Dinda yang tergeletak di meja rias berbunyi, membuat wanita yang sedang mengganti kebayanya menjadi kaos santai buru-buru mengambilnya. Ada pesan dari kontak bernama Ayah Zoa di sana,

|Dinda, selamat ya
|Ayah ikut senang dengar kabar kamu sudah lulus kuliah. Semoga ilmu yang selama ini kamu timba bermanfaat ya

Bukan Ayah Zoa, sebenarnya itu pesan dari Hari. Dinda sengaja menamakan kontaknya sedemikian agar Taeyong tidak curiga jika suatu saat lelaki itu membuka hpnya, meski pernikahan mereka hampir berjalan empat tahun, belum pernah sekalipun Taeyong membuka hp milik istrinya. Karena Taeyong merasa belum pantas untuk melakukan itu, apalagi sampai saat ini Taeyong tidak tahu bagaimana perasaan Dinda padanya.

Dinda membalas pesan Hari dan mengucapkan terimakasih pada mertuanya. Benar, hari ini baru saja dia dinyatakan lulus, bahkan Dinda menjadi salah satu mahasiswa lulusan terbaik dan langsung mendapat tawaran kerja dari salah satu perusahaan. Dinda sangat amat bersyukur, dia pikir salah satu alasan terbesarnya bisa berhasil sampai sejauh ini adalah keluarganya. Terutama Taeyong yang selalu ada setiap kali Dinda kesulitan dalam mata pelajaran. Bahkan Taeyong sering menemani Dinda mengerjakan skripsi saat tengah malam. Padahal Taeyong sendiri lelah setelah seharian bekerja.

Intinya Taeyong adalah pendorong dan sumber semangat Dinda kala itu.

"Din, Bunda chat aku, katanya kita langsung ke rumahnya aja. Soalnya Bunda udah masak banyak buat ngerayain kelulusan kamu," Dinda segera menghapus chat dari Hari dan menaruh hpnya di meja saat Taeyong masuk ke dalam kamar.

"Iya Mas, aku pinjam hoodie kamu aja deh. Lagi males pakai kemeja."

"Boleh," Taeyong mengambilkan hoodie biru muda miliknya dan memberikannya pada Dinda.

Mereka berangkat ke rumah Diana hanya berdua saja. Sedangkan Wony dan Yuli berada di rumah Omnya Taeyong. Jika dulu Taeyong selalu membawa motor milik Doyoung, maka sekarang Taeyong sudah memiliki motor sendiri yang dibeli dengan uang hasil jerih payahnya.

Sesampainya di rumah Diana, Dinda dan Taeyong kaget karena melihat ada keluarga besar Dinda juga di sana. Mereka mengucapkan selamat atas kelulusan Dinda. Banyak juga dari keluarga Dinda yang sekedar menanyakan bagaimana kabar Taeyong dan pekerjaannya.

"Udah hampir empat tahun nikah kan kalian? Nggak ada niatan punya baby gitu?" Tanya salah satu tante Dinda, Gina.

Diana ikut duduk disamping anaknya setelah mengambilkan kue kering untuk keluarganya, "Udah aku suruh terus Gin. Tapi Dinda sama Taeyong jawabannya belum siap terus. Kapan coba jadinya kalau punya pemikiran gitu mulu."

"Emang kalian belum siap dalam hal apasih? Materi? Jasmani? Rohani? Tante pikir kalian udah siap. Taeyong udah punya pekerjaan tetap, Dinda juga udah pasti kerja di perusahaan kan? Belum lagi umur kalian ini udah sama-sama dewasa. Jangan ditunda-tunda teruslah," Saran tante Dinda yang lain, Zila. Dia hanya takut jika Dinda akan sulit hamil sepertinya dulu karena terlalu lama menunda momongan.

Dan masih banyak lagi omongan keluarga Dinda mengenai momongan dan semacamnya. Yang membuat Taeyong tersenyum canggung, "Doakan aja secepatnya."

*****

Dua bulan berlalu setelah acara perkumpulan keluarga dengan kedok merayakan kelulusan Dinda namun ujung-ujungnya menjadi ajang untuk bergosip para tantenya, Dinda masih terus di teror dengan pesan masuk dari keluarganya yang menyuruhnya untuk cepat hamil. Bukan cuma itu, setiap kali Dinda datang ke rumah orang tuanya, baik Diana maupun Doyoung selalu minta bayi padanya.

Memang Dinda ini ternak bayi atau gimana sampai diminta segala?

Dinda sendiri sudah pusing mendengar ucapan-ucapan keluarganya yang memintanya agar segera punya anak. Ditambah akhir-akhir ini pekerjannya sedang ruwet, makin pening kepala Dinda dibuatnya.

"Mas, kalau pulang nitip obat migrain dong. Aku udah sampai rumah soalnya, males banget kalau harus keluar lagi," Ucap Dinda di telepon pada suaminya yang baru akan pulang dari kantor. Dinda sendiri baru pulang kerja dan sampai ke rumah sekitar lima menit yang lalu.

"Oke. Kamu mau nitip apalagi?"

"Nggak ada. Udah buruan pulang, aku pusing banget," Setelah itu sambungan telepon tertutup. Tiga puluh menit kemudian Taeyong sampai rumah dan melihat istrinya tengah tiduran di kasur masih dengan pakaian kerjanya.

Taeyong langsung memberikan obatnya pada Dinda. Dia juga membelikan martabak untuk Dinda dan kedua adiknya meski Dinda sendiri menolak dan pada akhirnya martabak itu hanya dimakan oleh Wony dan Yuli, "Kamu sakit?" Tanya Taeyong setelah memberikan Dinda segelas air untuk meminum obat.

Dinda meminum obat migrainnya terlebih dahulu sebelum menjawab pertanyaan Taeyong, "Aku pusing. Seharian ini di chat terus sama keluarga, disuruh cepet bikin bayi katanya," Ceritanya.

"Terus?"

"Ya kamu bantu aku bikin lah. Emangnya aku bisa bikin sendiri?" Sewot Dinda, "Aku udah siap Mas untuk punya anak sekarang. Toh kalau aku hamil juga pasti Bunda bakal bahagia banget. Nggak bakal ngomong, Bunda nih udah tua, nanti kalau nggak sempat liat cucu Bunda gimana? Padahal Bang Doyoung sendiri sampai sekarang belum nikah."

Dinda melirik suaminya, "Menurut kamu gimana Mas?"

Taeyong hanya diam. Tak ada satupun kata yang keluar dari mulutnya.

"Mas," Panggil Dinda lagi, "Jangan bikin aku makin pusing dong," Keluhnya.

Taeyong menghela napasnya, "Aku belum siap Din."

"Alasannya?" Dinda sendiri sebenarnya fine-fine saja jika hamil sekarang. Karena dia merasa sudah cukup siap untuk jadi Ibu. Namun tidak tahu kenapa Taeyong tak kunjung siap. Apa empat tahun itu kurang untuk mempersiapkan diri menjadi seorang Ayah?

Taeyong tak bisa menjawab pertanyaan istrinya, membuat Dinda berspekulasi sendiri, "Karena belum siap secara materi?" Tebaknya.

"Bukan cuma perihal itu. Aku lagi nyaman banget sama pekerjaan aku yang sekarang. Kamu juga tau, kalau hari ini aku baru diangkat jadi manager kan? Aku nggak pengen menyia-nyiakannya Din, aku mau fokus kerja dulu, cari uang, buat membahagiakam kamu dan keluarga kita."

"Jadi menurut kamu punya anak itu sia-sia? Terus kebahagiaan aku itu cuma sebatas uang huh?" Tanya Dinda tak habis pikir, "Kebahagiaan aku yang sebenarnya itu liat Bunda bahagia Mas."

"Bukan maksud aku gitu Din," Kata Taeyong berusaha menjelaskan.

"Aku baru sadar kalau perkataan Bunda ada benarnya. Kalau kita mikirin materi terus, nggak akan ada habisnya Mas. Contohnya sekarang," Dinda merubah posisinya dari duduk menjadi berdiri, "Aku kecewa sama Mas Taeyong. Terserah lah kalau emang Mas masih punya pikiran gitu. Aku nggak akan maksa untuk dihamilin lagi. Biar aja aku cari laki-laki lain yang mau nyumbang spermanya buat aku," Kata Dinda asal. Frustasi sekali dirinya. Sudah di desak untuk segera punya anak, namun suaminya malah menolak.

Success ; Taeyong [END✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang