Jika diibaratkan dalam peribahasa, keadaan Arsha sangat cocok dengan peribahasa sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Namun sepertinya kalimat itu lebih pantas diajukan kepada Langit. Karena selain bertemu dengan Arsha untuk yang kesekian kalinya, kini perempuan itu dengan beraninya menyentuh dirinya. Langit yang tak suka disentuh oleh siapa pun sudah jelas sangat marah. Wajah laki-laki itu kembali memerah di balik helm yang menutupinya.
"Turun, Sha!" ucap Langit dingin.
"Nggak mau. Lang, ada yang mau aku ceritain sama kamu."
Langit meremas setirnya dengan kuat, mencoba melampiaskan kekesalannya. Namun, kesabaran Langit sudah habis. Arsha sudah melewati batasan yang seharusnya.
"Lo mau mati atau turun?!" Ucapan Langit kali ini terdengar begitu menakutkan bagi Arsha. Nada suara laki-laki itu berbeda. Tak ingin nyawanya melayang, Arsha bergegas turun dan berdiri di sebelah Langit.
Keduanya tangannya memainkan ujung kaus yang dikenakannya. Ada rasa takut ketika Langit menoleh padanya dan memandangnya seperti seorang mangsa yang siap diterkam. Langit begitu menyeramkan. Arsha memilih menundukkan kepalanya karena begitu takut.
Sepertinya Arsha sudah membangunkan seekor singa yang sedang tertidur. Dan, Arsha harus siap dengan segala risiko yang akan terjadi.
Langit ingin sekali menghabisi perempuan itu sekarang juga. Namun karena dirinya masih memiliki sikap kemanusiaan, Langit berusaha meredam keinginannya itu. Kemudian, Langit kembali melepas helmnya dan menatap Arsha yang sepertinya benar-benar ketakutan. Perempuan itu sampai menundukkan kepalanya karena tak berani menatap Langit.
Ia menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya. Ia melakukan itu sebanyak tiga kali hingga merasa sedikit tenang.
Sorot tajam milik Langit mampu menangkap kedua tangan Arsha yang gemetar. Sebegitu seramkah Langit?
"Lo takut sama gue?"
Tak ada jawaban dari Arsha. Perempuan itu masih saja menunduk. Langit memilih turun dari motornya dan berdiri di hadapan Arsha.
"Ma-maaf," ucap Langit dengan susah payah.
Arsha mengerutkan keningnya ketika melihat sebuah tangan terulur padanya. Ia mengangkat kepalanya dengan ragu-ragu.
"Maaf," Arsha hanya terdiam ketika untuk pertama kalinya melihat seulas senyum di wajah Langit. Meski hanya senyum tipis, namun sangat berarti bagi Arsha yang selama ini bertemu Langit tak pernah melihat laki-laki itu tersenyum padanya. Namun, tetap saja Arsha takut untuk menerima uluran tangan itu, apalagi mengetahui bahwa Langit tak suka disentuh.
"Maaf kalau sikap gue bikin lo takut. Lo mau, kan, maafin gue?" ucap Langit seraya memberi isyarat kepada Arsha untuk menerima uluran tangannya.
Arsha mencoba menelan salivanya dengan susah payah. Dengan ragu-ragu, satu tangannya terangkat untuk membalas uluran tangan Langit. Hanya beberapa detik, setelahnya Arsha kembali menarik tangannya kembali.
Mendapat penerimaan dari Arsha membuat perasaan Langit sedikit lega. Karena sejujurnya saat melihat perempuan itu ketakutan karena dirinya, Langit jadi merasa bersalah akan hal itu.
Arsha memicingkan kedua matanya ketika ia baru menyadari sebuah lebam kebiruan yang menghiasi sudut bibir laki-laki itu.
"Muka kamu kenapa, Lang?"
"Bukan urusan lo."
"Kamu habis berantem, ya? Sama siapa?" selidiknya. Namun, Langit malah menggelengkan kepalanya dan memilih beralih naik kembali ke atas motornya.
"Lo mau cerita apa ke gue?" tanyanya mengalihkan pembicaraan.
Arsha menepuk keningnya ketika teringat sesuatu, "Ah, iya, ada yang mau aku ceritain ke kamu. Tapi bentar ya, aku ambil belanjaan aku dulu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sandyakala [TAMAT]
Teen FictionIni hanya sebuah cerita tentang kedua orang dengan masing-masing luka yang dirahasiakan dari dunia. "Gue sayang sama lo selayaknya semesta yang mencintai senjanya." "Tapi, Lang, senja nggak pernah bertahan lama." Kini, bagi Langit, senja adalah luk...