NINGSIH

10 2 0
                                    

Aku tak pernah menyangka menyukai gadis desa justru membuat kepalaku lebih pening ketimbang meladeni mantan-mantanku yang mengajak berbelanja ke Mall hanya untuk sekedar menguras kantong adan tenagaku.

Bagaimana tidak, hanya sekedar ingin memeluk atau min ke rumahnya saja sudah diancam para pemuda desa yang sepertinya memang tidak menyukaiku semenjak hari pertama aku datang ke desa ini.

Awal tahun 2019 aku kembali berpindah ke desa ini dari kota asalku tumbuh untuk menjalankan tugas dinas, dan sejak saat itu entah kenapa banyak sekali kaum pemuda desa yang melirik tidak suka jika aku lewat selepas pulang dari kantor kelurahan. Ditambah lagi ketika tak lama hanya selang beberapa bulan aku justru jatuh hati pada Ningsih.

Ningsih adalah gadis mandiri dan juga rajin layaknya gadis desa yang lain, tapi yang membuatku sangat amat jatuh hati padanya adalah rasa kasih sayangnya pada anak-anak yang selalu sukses membuatku senyum-senyum sendiri membayangkan dia akan mengasuh anak kami dengan baik di masa depan.

Entah karena dia terbiasa mengurus neneknya yang sudah tua atau memang ia tumbuh dengan asuhan yang baik dari orang tuanya dulu, karena setahu ku orang tuanya sudah lama meninggal.

"Akang sudah lama disini?"

Kekasih sekaligus akan ku jadikan calon istri sesegera mungkin itu sudah mulai merentangkan jaket yang tampak agak basah karena rintik hujan. Bahkan sebelum benar-benar berada tepat di hadapanku.

"Pakai jaketnya kang, kenapa gerimis begini tidak pakai jaket"

"Gak papa Ning, lagian aku cuma mau ngomong sebentar"

"Kenapa gak ke rumah saja?"

Aku hanya tersenyum dan membayangkan ngeri jika dicegat oleh Parmin dan kelompoknya sebelum sampai di rumah Ningsih. Ini bukan hanya mungkin karena suatu kali pernah ia benar-benar di datangi oleh mereka hanya karena mengantar pulang Ningsih setelah selesai membantu mengajar di sekolah desa.

"Kamu kan tau, pos yang di dekat rumahmu itu ada penjaganya"

Ningsih tersenyum mengerti dengan apa maksud dari para penjaga itu.

"Oh .., Akang takut ya"

Malu engan julukan itu aku segera menoel pipi Ningsih yang terasa dingin.

"Mana ada Ning, aku cuma gak mau cari masalah"

"Terus akang nyuruh Ning kesini mau ngomong apa"

Aku tidak pernah menyangka juga akan membiarkan masalah ini dengan Ningsih di bawah pohon randu dengan rintik hujan dan sorotan lampu neon yang menarik perhatian para Laron.

"Besok saya mau balik ke kota"

"Loh, memangnya tugasnya sudah selesai?"

Ningsih tampak terkejut dan sesuai harapanku dia pasti sudah berpikir kemana-mana.

"Bukan Ning, aku ke kota buat ngomong sama orang tua kalau saya mau nikah sama kamu" Ku sentuh tangan kekasih hatiku itu untuk meyakinkannya. "Aku mau minta mereka buat ngelamarin kamu untuk jadi istri"

"Tapi kena dadakan begini kang?"

"Loh memangnya kenapa?, kamu gak mau?"

"Bukan begitu, tapi kan kita belum pernah sekalipun bahas tentang pernikahan. Tapi ini tiba-tiba"

Aku tersenyum lagi, benar-benar rasanya tak sekali pun aku merasa murung ketika berada di dekatnya.

"Aku gak mau keduluan sama Parmin dan pesaing lainnya"

'Akang kira Ning ini saembara"

"Loh Ning, jangan salah bagi lelaki masalah seperti ini sama dengan hidup dan mati"

Astaga Ningsih ini benar-benar tidak menyadarikah kalau sainganku bejibun.

"Akang ini beneran tidak" What, Ningsih yang benar saja pertanyaanmu bahkan gak perlu dijawab.

"Kok tanyanya begitu"

"Ya siapa tau Akang mau main-main"

"Ya ampun Ning, aku ini udah cukup umur bukan waktunya main-main kalau lagi ngomongin hal kaya begini"

Ningsih berdiam dengan pikiran yang entah apa mulai menggerogoti perhatiannya, tak lagi fokus menatapku. Aku tak ingin mengusik sama sekali mungkin membiarkannya akan berakhir dengan jawaban yang segera ingin ku dengar.

"Terus akang dateng bawa orang tuanya kapan?"

"Minggu ini aku langsung balik lagi, kamu tenang aja gak usah mikir aneh-aneh. Pokoknya tinggal beresin rumah terus sambil santai nungguin aku dateng"

"Lah ... dikira gampang banget apa akang, ini, masalah yang harus melibatkan beberapa orang"

"Hehehe, iya akang tau"

"Tapia pa iya Ibunya akang setuju sama Ningsih?"

"Pasti setuju, orang kamu baik begini"

Ningsih hanya mengangguk tapi pasti dalam hatinya Ia gelisah bukan main.

"Udah sekarang mending kamu pulang kasih tau Nenek kamu, biar aku juga bisa siap-siap buat berangkat besok"

"Iya, akang hati-hati ya"

Lalu kami berpisah begitu saja, tanpa peluk-pelukan.

Yakin kalau kakak perempuanku tahu begini caraku melamar Ningsih bakal diketawain satu bulan penuh. Secara dia yang paham betul kalau dulu aku masuk deretan playboy musuh para wanita yang bisa bikin klepek-klepek dengan berbagai jurus jitu.

-TBC-

Maafkan typo bertebaran

KUMPULAN CERPEN |SEJUTA ISI|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang