Bab 8 - Cut Dalam Bahaya

3.9K 486 19
                                    

Terik mentari membuat keringat muncul deras di pelipis Ochi. Sembari meneguk sebotol air, ia meneriaki temannya.

“Cut! Sini!”

Cut yang merasa terpanggil pun menoleh dan menghampiri, “Ochi, liat Khadijah nggak?”

“Eh, iya … kok, aku baru nyadar dia gak ada. Perasaan tadi „kan kita olahraga bareng.”

“Nah itu. Cut khawatir dia kenapa-kenapa, deh!”

Mereka mulai risau dan berfikir apa yang bisa mereka lakukan untuk menemukan temannya.

“Kita tanya ke Pak Indro, yuk!” ajak Ochi bersemangat.

Langkah Pak Indro yang hendak menuju kantor sekolah pun terhenti saat Ochi dan Cut bergantian menyerunya.

Pak Indro menoleh ke belakang, Nampak dua muridnya yang terengah-engah setelah berlari dari kejauhan, “kalian kenapa?”

“Maaf, P-pak … hhh ….” Ucapan Ochi terpotong-potong. “Pak Indro lihat Khadijah gak?” lanjutnya.

Cut hanya menyimak.

“Tadi, Bapak suruh Khadijah buat bersihin diri, karena darah haidnya tembus,” jelas Pak Indro.

Khadijah dan Cut beradu pandang.

“Oh ya udah, Pak, makasih. Kita mau nyusul dulu. Assalaamu‟alaikum.”

***

“Dijah …!” teriak Ochi dan Cut bergantian sambil mengecek seluruh isi WC.

“Kok, gak ada sih?” tanya Cut pasrah.

“Eh, lihat! Ini „kan celana olahraga punya Dijah? Lha, orangnya kemana?”

Brakk!

Seperti ada yang terjatuh dari luar kamar mandi, mereka bergegas mengeceknya.

“Dijahhh!”

Khadijah terjatuh lemas. Sebelumnya, Cut sempat melihat kucing hitam yang pernah ia lihat di pesantren berlari bersamaan dengan munculnya Khadijah dari belakang kamar mandi.

Sementara itu, pandangan Khadijah mengabur. Bumi seperti bergoyang, lalu sesaat kemudian ... gelap!

***

Aroma minyak kayu putih menggelitiki hidung pesek Khadijah. Merasa terganggu, matanya terbuka perlahan. Ia terbangun dan menyandarkan punggungnya di hulu kasur.

“Alhamdulillah, Dijah udah sadar lagi,” sorak Ochi.

Khadijah kembali mengerjap-erjapkan mata dan berusaha menyesuaikannya dengan penerangan di ruang kobong An-Nisa yang cukup terang, karena lampu sudah dihidupkan mengingat cuaca mendung meski masih siang hari. Cut menghampiri dengan membawa segelas teh hangat di tangannya.

Ia menyodorkan segelas teh sambil bertanya, “Dijah tuh sebenarnya kenapa, sih?”

Khadijah mendongak, menatap manik Cut yang menatap serius ke arahnya.

“Hidupmu dalam bahaya, Cut!”
Bak tersengat ribuan volt tegangan listrik, tubuh Cut menegang.

“Dijah ngomongnya kok gitu?”

“Gak tahu kenapa, tapi kamu harus hati-hati. Jaga ucapan dan perilaku!” Khadijah berpesan.

Seketika Cut termenung, ada gelisah yang tampil riang di sudut matanya.

“Aku mau ke atas dulu, ambil jemuran, kayaknya bakalan hujan.” Cut berlalu ke lantai tiga, yang menjadi lahan tempat menjemur pakaian.

Untuk sampai ke sana, ia harus menaiki sebuah tangga yang masih terbuat dari bambu. Perlu cukup banyak keberanian untuknya sampai di sana, hingga ia menaiki tangga dengan penuh kehati-hatian.

Penjilat Darah Haid - ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang