Kereta terus melaju. Suara rel yang digilas roda terdengar beraturan. Sudah 1 jam berlalu sejak kereta beranjak dari stasiun. Itu berarti, masih tersisa 2 jam lagi untuk mencapai stasiun tujuan yang berada di tengah kota.
Di langit, awan nimbostratus sudah sepenuhnya berkumpul. Awan yang membawa beban berat itu telah membentuk formasi, siap sedia menumpahkan hujan.
Sepersekian detik kemudian, jutaan kubik tetesan air telah meluncur, luruh menghempaskan diri ke bumi.Hujan pagi ini terlihat menyenangkan. Meskipun cahaya dan kehangatan matahari tertutupi awan kelabu, setidaknya formasi rintik yang bergerak turun itu cukup indah jika dilihat dari lereng-lereng bukit. Batang dan daun yang digerakkan oleh hembusan angin seolah-olah sedang menarikan sebuah tarian, suka cita menyambut hujan.
Namun, ada yang tidak menikmati pemandangan indah tersebut. Nai, dia tampak gugup di bangkunya. Sesekali menatap takut ke luar jendela lalu berusaha memejamkan mata. Memeluk erat dirinya sendiri dari balik almamater dongker.
Pram yang sedang membaca novel menangkap hal ganjil dari sudut matanya, yaitu lutut Nai yang bergetar hebat. Melihat hal tersebut, Pram beralih menatap wajah pucat Nai. Mata Nai tertutup erat. Bukan, Nai tidak sedang tertidur. Ada gemelatuk gigi yang terdengar. Nai kedinginan?
Demi melihat Nai yang menggigil di sebelah, Pram berinisiatif mengambil almamater yang terlipat dalam tas abu-abu. Kemudian, almamater itu diselimutkan ke badan Nai.
"Nai. Hei, Naira." Pram memanggil Nai dengan lembut sambil mengibaskan tangan ke depan wajah Nai. Lengang. Nai belum juga membuka mata. Pram mulai panik. Apa yang terjadi dengan Nai?
Pram kembali memanggil-manggil nama Nai. Akhirnya Nai membuka mata usai lengannya disentuh oleh Pram.
"Kamu kenapa, Nai?"
Diam. Nai tidak bersuara. Air mata kini mengalir di pipinya.
"Kamu sakit, Nai?" Pram panik melihat Nai yang menangis. Saat tangan Pram terangkat, hendak memegang kening Nai demi memastikan suhu tubuhnya, tiba-tiba Nai bersuara lirih.
"Aku benci, Pram. Benci sekali"
"Eh?" Pram membatalkan niatnya yang ingin menyentuh kening Nai.
"K-kamu membenciku, Nai?" Pram menatap mata Nai dengan penuh kebingungan. Apa pula yang telah Pram lakukan sehingga Nai membencinya? Apakah, apakah Nai sudah mengingat siapa Pram? Sebenci itukah Nai kepadanya?
Nai menggelengkan kepala.
"Aku benci hujan, Pram."
Usai mengatakan itu, Nai menangkup kedua tangan, menutupi wajahnya. Bahu Nai bergetar hebat dan sudut almamaternya terlihat basah. Dia kembali menangis.
Pram terkejut mendengar pernyataan Nai barusan. Ada banyak pertanyaan yang berseliweran di kepala Pram saat itu juga. Namun, sekarang bukan waktu yang tepat untuk bertanya. Pram paham betul dengan situasi ini. Hal ini sama seperti adiknya, Pras, yang berlarian naik ke atas meja makan lalu bersungut-sungut saat hewan kecil yang dibencinya melintas di bawah kaki, atau sama seperti Hanna, sahabat Pram yang memuntahkan makanan lalu menangis tersedu-sedu saat tahu ada jengkol atau petai di dalam makanannya. Setiap orang mempunyai rasa tidak suka atau bahkan rasa benci terhadap sesuatu.
Pram paham betul dengan hal ini dan dia sudah tidak lagi menganggap aneh orang-orang yang seperti itu. Tapi, bagaimana Nai bisa membenci hujan?Pram berinisiatif untuk menutup jendela dengan gorden yang tersampir di sebelahnya sesaat setelah Nai membuka mata. Pram juga mengajak Nai untuk bertukar posisi. Kini, Pram yang duduk di bangku Nai, berada di dekat jendela. Sesekali Pram mengintip ke luar dari balik gorden yang tersingkap, melihat derasnya hujan. Lalu Pram berusaha memperbaiki posisi gorden tersebut agar kembali menutup sempurna.
![](https://img.wattpad.com/cover/237468659-288-k828960.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Sedalam Angkasa (Berlanjut)
RomanceAda banyak orang yang menyukai hujan. Menyukai rintik yang memesona saat berduyun-duyun turun ke bumi, menghempas di tanah-tanah kering. Bagi mereka, hujan dapat memberikan ketenangan dan perasaan damai. Terlebih lagi setelah hujan reda, kala aroma...