Lima

54 27 98
                                    

Pemandangan dari lantai 4 perpustakaan kota sangatlah indah. Dari sini, keramaian kendaraan di jalan protokol dan pejalan kaki di bahu jalan terlihat jelas. Selain itu, hamparan tumbuhan hijau di tepi jalan dan di taman perpustakaan tampak anggun saat disiram matahari pagi. Sungguh pemandangan yang menakjubkan. Entah sudah berapa menit Pram mematung dekat salah satu jendela besar di lantai 4 itu, mengamati dan memikirkan berbagai hal.

Pagi ini suasana hati Pram sedang membaik. Tadi, pagi-pagi sekali, dia mendadak dihubungi oleh Pak Latif yang meminta untuk segera bertemu. Maka pergilah Pram seorang diri ke perpustakaan kota. Awalnya, Pram diliputi keragu-raguan. Ragu dengan apa yang akan dihadapinya saat bertemu nanti. Tapi, tiada disangka Pak Latif adalah orang yang ramah dan baik hati. Beliau bahkan meminta maaf kepada Pram tentang ketidaktepatan janjinya kemarin sore.

Kabar baiknya, perbincangan singkat bersama ketua perpustakaan kota membuahkan hasil. Pram memutuskan untuk segera kembali ke kampus, memberitahu Hanna tentang kabar baik itu. Hanna pasti akan sangat senang dan tidak perlu lagi mencemaskan hal-hal yang bahkan belum tentu akan terjadi.

Kabar buruknya, lift di perpustakaan kota sedang diperbaiki. Entah apa masalahnya. Lift yang terhenti membuat Pram dan pengunjung lainnya harus berjuang untuk naik turun anak tangga. Tak masalah bagi Pram. Langkah kakinya terasa lebih ringan sejak berjalan dari lantai 6 tadi.

Saat tiba di lantai 2, Pram melihat seorang perempuan sedang duduk membaca buku. Dia menghentikan langkahnya, mengamati dengan saksama dan meyakinkan dirinya kalau perempuan itu adalah orang yang dia kenal.

Pram memutuskan untuk mendekat. Dia mengambil langkah pelan dan mencomot sembarang buku dari raknya, pura-pura mencari tempat duduk untuk membaca. Pram terus berjalan hingga tiba di dekat perempuan itu.

"Naira?"

Perempuan itu mendongakkan kepala, melihat siapa yang telah menyebut namanya.

"Astaga, Nai. Aku tidak menyangka kita akan berjumpa di perpustakaan kota. Boleh aku duduk di sini?"

Nai menatap Pram lekat-lekat. Kemudian menganggukkan kepala dan mempersilakan Pram untuk menduduki bangku yang ada di seberang meja, lalu melanjutkan kegiatan membacanya.

"Kamu masih ingat aku kan, Nai?" Pram bertanya dengan hati-hati. Takut jika Nai lupa padanya.

"Tentu saja aku ingat. Kamu ... Pram, salah satu peserta di cabang lomba melukis saat seleksi Peksimika beberapa bulan yang lalu."

Pram membelalakkan matanya. Dia tampak terkejut mendengar pernyataan Nai barusan.

"Eh, itu. Aku kira kamu tidak mengingatku, Nai."

"Saat di kereta api, aku memang lupa, Pram. Tapi beberapa hari selepas itu, aku kembali mengingat siapa dirimu."

Pram salah tingkah. Ragu-ragu menatap Nai yang kini sudah melepas fokusnya dari buku yang ada dalam genggaman, berbalik menatap Pram dengan serius.

"Aku minta maaf ya, Nai. soal lukisan itu ... A-aku." Pram menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Bingung dengan apa yang hendak dia sampaikan kepada Nai.

"Aku tidak marah kok."

"Tapi saat itu kamu terlihat sangat marah, Nai."

"Hmm ... Itu cuma spontan. Justru akan terlihat aneh jika saat itu aku tidak marah padamu, Pram. Kamu masih sering melukis kan? Lukisanmu bagus sekali."

"Benarkah itu, Nai? Alhamdulillah jika kamu tidak menyimpan kemarahan padaku. Ah, itu, aku masih melukis kok, Nai. Bahkan sebelum libur semester genap, aku ikut bergabung bersama UKM seni kampus dalam kegiatan melukis mural di tembok belakang gedung rektorat."

Sedalam Angkasa (Berlanjut)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang