Lima : Penyesalan

208 18 2
                                    

SETELAH KEPERGIANMU

(SEKUEL ''JANTUNG ATAU HATI")

Bukan tentangmu lagi, ini tentangku, dia dan mereka

Bag. 5

*****

"Hey, kamu. Iya kamu. Sudahkah kamu bahagia hari ini? :') " - Lyn

*****

Eve menutup buku bersampul merah muda dengan gambar hati yang memenuhi hampir seluruh bagian sampul. Tangannya bergerak mengusap pipinya yang entah sejak kapan berair seperti ini. Pandangannya beralih pada foto diatas nakas. Penyesalan kembali menghantam pikiran akan ingatan masa lalu. Kalau saja-

"Eve sudah waktunya makan, Nak," seru seseorang dari balik pintu kamar. Membuyarkan lamunan, menghentikan kenangan yang mendadak muncul sendirinya. Dengan cepat diusapnya kembali pipi agar jejak tangisannya itu benar-benar tak terlihat. Ia beranjak dari atas tempat tidur dan berjalan menuju pintu kamar.

Pintu terbuka dan dapat ia lihat sosok ayahnya berdiri di depan pintu. Tanpa berkata sepatah katapun Eve berlalu menuju tangga lalu menuruninya menuju ruang makan. Meja makan penuh dengan makanan favorit eve. Mulai dari ayam goreng, nasi goreng, sambal goreng kentang, Di ruang makan keheningan membalut diantara keduanya. Hanya suara gesekan pelan antara sendok dan piring yang tiba-tiba saja terdengar lebih keras dari biasanya. Atau keheningan diantara mereka sudah keterlaluan.

"Kamu... kesini bareng mamamu?"

Sederet pertanyaan meluncur dari mulut Reno sukses menghentikan tangan Eve untuk menyendokkan nasi. Eve mengalihkan pandangan kepada sang ayah. Reno juga tengah menatapnya seakan menantikan jawaban darinya. Eve segera mengalihkan pandangan kembali pada nasi di piringnya.

"Iya." Cukup jawaban singkat. Bukankah hanya itu jawaban yang tepat dari pertanyaan sang ayah berikan padanya. Reno mengghela nafas. Ini terlalu canggung. Harusnya mereka bahagia, harusnya senang dan saling bercerita tentang berbagai hal yang telah mereka lewatkan selama hampir 3 tahun tak bertemu dan tak saling sapa. Bukan saling diam seakan bermusuhan dan tak saling kenal.

"Ah, kamu sekarang sekolah di SMA Bakti Negara ya?"

"Iya."

"Kamu bakalan tinggal terus sama ayah kan? Nggak balik lagi kan?"

"Nggak."

Jawaban dingin Eve sukses membuat Reno memandangnya. Pria itu tak lama kembali menunduk dan melanjutkan makan yang kini tak membuatnya berselera.

Ingatan menariknya ke masa lalu. Bagaimana ia memprlakukan lyn begitu dinginya, sama seperti Eve lakukan padanya. Bagaimana  kata-kata menyakitkan meluncur begitu saja dari mulutnya, bahkan saat Lyn tak melakukan kesalahan apapun.

*****

"Bagaimana bisa gagal?"

"...."

"Aku tidak peduli! Tim mu harus bisa membereskan kesalahan yang kalian lakukan atau siap-siap hari ini adalah hari terakhirmu bekerja di perusahaan ini!"

"...."

Reno menyandarkan punggungnya pada kursi. Di lempar begitu saja ponsel miliknya di atas meja makan. Masih pagi dirinya mendapati laporan tentang pembatalan kontrak dengan salah satu klien karena kesalahan karyawannya. Tangannya bergerak memijat pelan pelipis mengurangi penat dan pusing yang mendera.

Tak lama Lyn muncul baru saja menuruni tangga. Gadis itu telah rapi berseragam dan tas ransel menggantung di balik punggungnya. Duduk di samping Reno dan meminum susu yang sudah disiapkan oleh mbok Sum.

"Ayah," suara pelan Lyn terdengar memanggilnya. Masih dengan emosi ditatapnya sang putri. Apakah paginya tidak cukup untuk diganggu oleh karyawannya dan sekarang putrinya ini meminta apa darinya?

Nyali gadis itu mengkerut saat melihat raut wajah amarah Reno yang ditunjukkan padanya. Lyn memangku tas ranselnya dan mengambil sesuatu dari dalam tas. Mengeluarkan selembar kertas undangan walimurid untuk pengambilan rapor semester satu.

"Ini, ada undangan dari sekolah untuk pengambilan rapor besok."

Reno menghela nafasnya. Dikira ada sesuatu penting. Diambilnya kertas itu. dibacanya seklias isi dari undangan lalu diletakkan di meja.

"Ayah nggak bisa. Nanti biar diambilkan sama Rico." Reno memakan sarapan paginya. Lyn terdiam. Selalu, ayahnya tak pernah mau meluangkan waktunya walau hanya untuk mengambilkan rapor. Namun, lagi-lagi Rico, salah satu bodyguard ayahnya yang disuruh.

"Apa ayah tidak bisa luangin waktu hanya untuk mengambil rapor? Hanya sebentar kok." Lyn masih tidak mau menyerah.

"Sudah ayah bilang kan? Ayah nggak bisa. Ayah sibuk. Biar Rico saja yang ngambil."

"Tap-"

Reno beranjak dari tempatnya tanpa mau mendengarkan kalimat yang belum usai Lyn ucapkan. Meninggalkan Lyn yang hanya bisa menatap punggungnya dengan tatapan pasrah.


*****

Suara gelas yang berbenturan dengan meja membuyarkan lamunan Reno. Pandangan pria tua itu beralih pada sang putri yang ternyata sudah selesai makan malam. Tanpa sepatah kata, Eve pergi meninggalkan reno sendiri di meja makan menuju kamar.

Reno menunduk kembali. Digenggamnya erat sendok dan garpu melampiaskan betapa marahnya dirinya. Bukan kepada Eve, namun pada dirinya sendiri mengingat betapa dirinya begitu jahat pada Lyn. Gengamannya merenggang. Sendok dan garpu jatuh begitu saja. Dadanya terasa sesak. Tak bisa ditahan matanya kembali berair. Bagaimana dirinya begitu menyesal setelah kehilangan gadis kecilnya pergi tanpa memberinya kesempatan untuk membuatnya bahagia. Bahkan disaat terakhir gadis itu pun dirinya tak bisa membuatnya tersenyum.

Apakah ini yang disebut karma?

*****************

Eve berjalan santai masuk gerbang. Beberapa orang tampaknya masih belum terbiasa akan kehadirannya. Ini dibuktikan dengan pandangan tak percaya dari beberapa siswa yang berpapasan dengannya. Padahal ini sudah hari kelima dirinya bersekolah disini. Sebenarnya seberapa populerkah saudaranya itu hingga membuat seluruh sekolah memperhatikannya sedemikian intensifnya?

Lima hari berturut turut dirinya mengamati seluk beluk teman-teman sekelasnya. Beberapa informasi telah terkumpul. Salah satunya yaitu temtang teman sekelasnya ini adalah teman sekelas Lyn dulu. Cukup mengejutkan baginya mengingat saat smp dulu selama tiga tahun berturut turut, setiap naik kelas para siswanya akan di-rolling dan membuatnya memiliki banyak teman di kelas lainnya. Mungkin memang sistem sekolahnya berbeda dengan masa smp dulu.

Informasi yang cukup kuat lainnya, ada dua gank besar di kelasnya saat ini. ada Enemy dan juga Galaxy. Berlebihan juga sih, apalagi saat ini sudah bukan jamannya lagi bikin gank seperti itu. tiba-tiba amarahnya meluap mengingat Lyn dulunya sangat sering dibully oleh mereka. Sungguh, bagaimana Lyn bisa melalui semua ini. yang masih membuatnya bertanya beberapa hari ini, bagaimana sosok Alvin begitu menonjol dalam buku diary milik adiknya itu.

"Eve!" seseorang berteriak memanggil namanya membuat Eve otomatis menoleh ke sumber suara. Sosok Denny muncul dari arah parkiran mendekat padanya. Helaan nafas terdengar sesampainya ia di samping Eve. Cowok itu tersenyum senang ke arahnya.

"Morning?"

Eve mengangkat sebelah alisnya. Tak urung bibirnya pun membalas sapaan Denny. "Morning."

"Hmm... lo tadi sarapan apa?" sebuah pertanyaan konyol meluncur begitu saja dari mulut ember Denny, yang langsung di sadari si pemiliknya dengan menepuk pelan bibirnya. Dalam hatinya pun ikut mengumpat. Eve meringis mendengarnya. Cukup aneh mendengar pertanyaan cowok yang dikenalnya beberapa hari ini.

"gue sarapan sama roti."

Denny mengangguk. Masih tak menyangka sih bakalan dijawab sama Eve. Padahal pertanyaannya sangat tidak jelas dan konyol. Keduanya terdiam. Berjalan melewati koridor-koridor kelas dengan santai dengan kasak-kusuk berdengung di antara keduanya.

"lo tadi berangkat naik apa?"

Lagi-lagi pertanyaan tidak penting kembali Denny lontarkan. Eve menoleh sebentar lalu kembali fokus pada jalan yang mulai menanjak karena mereka kini menaiki tangga menuju ke lantai dua. "naik mobil. Dianterin sama pak Jono." Eve menjawab apa adanya.

Denny mengangguk paham. Dari pengamatan yang ia lakukan lima hari ini, Eve itu bukanlah tipe yang cerewet, cenderung pendiam dan tak banyak bicara. Menjawabnya dengan santai tanpa tekanan. Tidak berlebihan. Eve ini sangat bertolak belakang dengan Lyn. Lyn tipe melankolis dan Eve ini tipe-tipe realistis.

"Hey, Den." Heloo~" Denny tersadar dari lamunannya. Bahkan sibuk memikirkan cewek di sampingnya ini sampai tak sadar kalau sudah sampai di depan kelas mereka.

"Ah, sorry. Kita udah nyampek ya?" Denny lagi-lagi bertingkah konyol yang membuat Eve tertawa pelan. Cowok disampingnya ini benar-benar humoris. Pantas saja dalam buku diary Lyn yang dibacanya, sosok Denny ini ditulis dengan humornya yang receh.

Beberapa teman sudah datang. Eve dan Denny masuk. Beberapa orang masih memandang Eve dengan tatapan heran, sedangkan yang lain tampak sudah biasa. Sosok Alvin terlihat bercokol di tempatnya bersama Sandy dan teman-teman lainnya. Mereka tampak asyik membicarakan pertandingan sepak bola semalam tanpa menyadari kehadiran mereka.

"Oy, Den," panggil Yoga saat dirinya melihat Denny mendekat ke arah mereka. Denny mengangkat tangan kiri sebagai balasan dan duduk di kursinya. Sontak teman-teman yang lain ikut menoleh ke arah Denny dan Eve. Alvin tampak terkejut namun tak lama berganti dengan senyuman. Alvin bergerak menggeser bangkunya memberikan akses Eve untuk duduk di sampingnya.

Eve memberikan senyuman sebagai balasan. Lalu duduk dengan tenang. Alvin memiliih kembali meneruskan perbincangannya dengan teman-teman lainnya walau terkadang sudut matanya melirik Eve. Cewek itu kini tengah mengobrol dengan Nia dan Yeni. Bahkan cewek itu tampak nyaman dan tak tampak seperti anak baru di kelas mereka.

Mata Alvin kini tak lagi melirik. Matanya kini memandangi Eve yang mengobrol dengan serunya. Mata, hidung, bibir, alis, dan pipinya begitu mirip dengan milik Lyn. Bagaimana cara Eve tersenyum, bagaimana matanya menyipit saat tersenyum maupun tertawa, bagaimana bibirnya bergerak, semuanya sangat mirip dengan Lyn. Baginya itu semua sangat membuatnya terkesan sekaligus keheranan. Ini pertama kalinya dirinya melihat orang kembar yang benar-benar identik. Apalagi itu kembaran kekasihnya.

Alvin mengedipkan mata beberapa kali, menyadari dirinya sibuk memandangi Eve begitu intens. Tidak seharusnya dia melakukan itu. Ia  memilih memperhatikan Denny yang kini bergaya bak pemain sepak bola yang bersiap-siap melakukan tendangan penalti, walau pada akhirnya cowok itu melakukannya dengan bercanda yang sanggup mengundang tawa teman-teman lainnya.

****

Elsa beberapa kali menghela nafas menghilangkan penat. Matanya menerawang jauh keluar lapangan sepak bola. Beberapa temannya sedang mengikuti pelajaran olahraga bersama pak Gilang. Waktunya olahraga dan dirinya tidak bisa ikut karena masalah kesehatannya. Padahal ini sudah lama setelah operasi tapi dokter masih menyarankan dirinya untuk tidak melakukan aktivitas yang berat-berat. Dan ini semua terasa membosankan.

Pandangannya beralih pada teman-temannya yang melakukan gerakan jongkok. Dipandanginya satu per satu teman-temannya itu. hingga pandangannya terhenti pada sosok yang akhir-akhir ini menjadi topik hangat seantero sekolah. Keidentikannya dengan sosok mendiang Lyn membuat semua orang terpana. Bagaimana tidak, mulai dari ujung kepala sampai kaki sangat mirip. Yang membedakan hanya warna rambut dan warna iris mata. Dan satu lagi, Eve tidak memakai kacamata seperti Lyn.

Bukan hanya itu, kemunculannya di sekolah ini mengundang banyak spekulasi. Paling sering terdengar adalah kemunculannya untuk membalaskan dendam kepadanya atas perlakuan yang selama ini dia dan teman-teman se-geng nya lakukan pada Lyn dulu. Beberapa teman segengnya ketakutan, jika memang kabar itu benar. Elsa sendiri tidak percaya akan hal itu. menurutnya Eve sepertinya tidak tahu apa-apa melihat dari perilaku cewek itu beberapa hari ini.

"Hei," seseorang mengejutkan Elsa, menariknya dari lamunan panjang. Sosok Eve berdiri di sampingnya. Dia tersentak, terkejut dengan Eve yang sangat mirip dengan Lyn. Sungguh, dirinya masih belum melupakan cewek kini telah tenang di peristirahatan terakhirnya itu.

"A-ah. I-iya. Ada apa?" tanya Elsa gugup. Dirinya seperti berhadapan langsung dengan Lyn. Bagaimana tidak, fisik keduanya sama, hanya Eve tidak memakai kacamata.

"Oh, ini buat lo." Eve memberikan minuman kaleng dingin padanya. Tak enak hati jika menolak, maka diterimanya minuman itu sembari mengucapkan terima kasih.

Dirinya baru sadar kalau kegiatan olahraga sudah selesai. Beberapa temannya masih berada dilapangan. Mengikuti penilaian untuk memasukkan bola ke ring basket. Bebrapa juga sudah beristirahat di sisinya. Eve mendudukkan diri di sebelahnya. Dan entah kenapa terasa canggung begini.

Beberapa teman Elsa mendekat. Entah kenapa mereka harus mengawasi sosok lain Lyn ini. cukup aneh jika langusng berpikiran baruk tentang Eve yang baru mereka kenal dan pastinya dia tidak tahu apa-apa kan?

"Els, yuk ke kantin. Laper nih!" ajak Mega memecah kecanggungan diantara keduanya. Elsa meengangguk.

"Eve, mau ikut?" ajak Elsa tiba-tiba. Seketika teman-temannya memandangnya terkejut. Namun Elsa tak peduli. Apalagi tadi Eve juga sudah berbaik hati memberikan ia minuman.

"Ah, tidak. terima kasih. gue mau ke perpustakaan. Mau ngerjain tugas Bahasa Indonesia," tolak Eve. Sebenarnya dirinya tidak enak, apalagi melihat raut wajah teman-temannya yang sepertinya tidak menginginkan dirinya bergabung dengan mereka.

Elsa mengangguk mengerti, tak berniat untuk memaksa cewek itu. tak lupa ia berpamitan pada Eve lalu pergi bersama teman-temannya meninggalkan Eve sendiri. Kenapa rasanya ... tidak tega?

Saat ia beranjak dari tempatnya, tiba-tiba muncul sosok Alvin berdiri di hadapannya. "Mau ke kelas bareng nggak, ly-Eve." Lagi-lagi Alvin hampir salah memanggil nama cewek itu. sebenarnya tak salah sih, tapi cewek di depannya sudah sering di panggil dengan Eve, bukan Lyn.

"O-oh. Gue harus ke perpustakaan dulu. Mau pinjam buku buat tugas Bahasa Indonesia." Alvin menganggukkan kepala mengerti.

"Mau dianterin?" lagi Alvin menawarkan diri untuk menemani Eve yang disambut dengan tatapan heran.

"Nggak perlu. Tapi terima kasih untuk tawarannya. Kalau gitu gue pergi dulu." Eve langsung beranjak dari tempatnya meninggalkan Alvin yang mengumpati dirinya karena bertindak aneh. Bisa-bisanya ia memenawarkan diri untuk menemani cewek itu, padahal sudah jelas Eve tidak menginginkannya. Sandy dan Denny yang baru selesai mendekatinya.

"Kenapa lo, Vin?" tanya Sandy keheranan melihat Alvin yang ngomel-ngomel sendiri.

"Nggak. Gue nggak kenapa-napa. Yuk ganti baju. Gue udah gerah banget." Setelah itu Alvin langsung berjalan duluan. Meninggalkan pertanyaan besar diantara kedua sahabatnya yang saling berpandangan.

*****

Eve melangkah memasuki kantin usai berganti seragam. Kali ini ia memilih ke kantin sendirian. Tangan kanan membawa ponsel, tangan kiri membawa air mineral. Teman-teman yang lain—Yeni dan Mia—masih ada perlu ke ruang guru. Matanya menelisik seluruh penjuru kantin. Masih menimbang ingin makan apa. Hingga pilihannya jatuh pada siomay. Kakinya melangkah mendekati stand siomay. Ada tiga orang mengantri didepannya. Tangannya mengetikkan pesan pada mamanya yang tiba-tiba mengiriminya pesan.

Mamanya menanyakan kabarnya dan keadaannya di sekolah. Dengan cekatan ia mengetikkan pesan utnuk mamanya, mengabarkan bahwa dirinya baik-baik saja. Bukankah mamanya istirahat. Ini sudah jam 9 pagi disini. Berarti sekitar jam 10 malam. Apa mungkin mamanya baru pulang?

"Eve," seseorang memanggil namanya. Segera Eve mendongakkan kepala. Didapatinya sosok Erick dengan dua piring siomay di tangannya. Oh di depannya tadi ada Erick.

"Oh, hai Erick."

"Lo mau pesan siomay juga?"

"Iya."

Erick tiba-tiba berbalik menghadap penjual kembali. "Oh iya, mbak. Tadi saya lupa harusnya tiga, bukan dua. Nih temen saya sampek nyamperin saya. Tolong ya mbak bikinin satu lagi buat temen saya ini. oh iya ini uangnya. Saya sih yang lupa mbak."

"Oke, mas bule ganteng. Nggak papa lupa. Mas kan ganteng jadi akuh maafin deh," balas mbak-mbak penjual itu genit. Eve berniat untuk menolak bantuan Erick, tapi mendengar bisikan cowok itu tepat di telinga kanannya membuatnya harus menutup mulutnya rapat-rapat. "Nggak papa kok. Tenang aja. Kalo lo mau gabung bareng temen-temen lainnya, nah meja kita disana. disana masih ada tempat kok."

Setelah itu Erick pergi meninggalkannya yang masih bergeming di tempat. Entah kenapa tiba-tiba saja dadanya seperti bergemuruh.

"Halo. Neng cantik kok ngelamun?"

Eve berkedip cepat. Menyadari dirinya malah diam saja. Tambah tak enak lagi karena sudha ada yang mengantri di belakang. Apalagi dirinya didahulukan karena Erick, tambah makin tidak enak. Dia tersenyum, lalu meraih piring pesanan siomaynya.

Kemudian beranjak dari sana. 'Ah, what are you doing, Eve?'

Ia berbalik lalu menatap ke arah meja dimana Erick, Elsa dan beberapa teman sekelasnya disana. akan tetapi, dirinya merasa kurang tepat jika berada di sana. Ah, lebih baik ia memilih meja lainnya. Beruntung ada meja yang baru saja ditinggal orangnya.

Kakinya melangkah mendekati meja tersebut. Beruntung tidak ada yang duduk disana. setelah itu ia menikmati makan siangnya. Dipertengahan ia menikmati makan siangnya, seseorang yang baru saja melewatinya berhenti mendadak di samping mejanya.

"Eh, Eve. Helo," sapa orang itu yang mengundang Eve untuk mengalihkan fokus dan berhenti menikmati makanannya. Senyumnay terkembang membalas perkataan Denny. Cowok itu tampak membawa dua kantung kresek—satu berisi minuman dan satunya beberapa snack.

"Sendirian aja? Nggak sama temen yang lain?" Denny menoleh kesekeliling kantin, mencoba mencari teman-teman sekelasnya yang mungkin tadi makan bareng Eve.

"Iya. Lagian Yeni dan Mia katanya udah kenya terus dipanggil guru ke kantor."

Denny menganggukkan kepala lagi. kali ini cowok itu tak lagi berada di samping meja, melainkan duduk di kursi kosong depan cewek itu. kening Eve berkerut mengetahui cowok itu tak lagi melanjutkan langkahnya.

"Ya udah. Kalau gitu gue temenin." Denny mengeluarkan sebotol minuman elektrolit dan sebungkus snack keripik kentang berkukuran besar dari kantung-kantung plastik yang ia bawa tadi. Melihat tingkah Denny membuat kening Eve berkerut. Namun itu tak lama dan ia memilih kembali melanjutkan aktifitas makannya yang tertunda.

Denny membuka botol dan meneguk isinya hingga tinggal separuh botol. Kedua matanya kembali mengamati Eve. Bodo amat dengan teman-temannya. Demi apapun dirinya masih sangat penasaran.

Di hari pertama Eve datang ke sekolah ini sampai beberapa hari setelahnya, kecanggungan kelasnya luar biasa. Dulu biasanya teman-teman sekelasnyan sering heboh, ramai waktu jam istirahat, kini begitu sepi dan sedikit mencekam. Masih terasa aneh ketika mendapati cewek yang sangat amat serupa dan identik dengan Lyn itu duduk di pojokan ruang kelas. Rasanya Lyn seperti hidup kembali, walau kenyatannya raga teman mereka itu telah terbujur kaku di bawah timbunan tanah selama setengah tahun. Seakan-akan Eve itu ditakdirkan muncul menggantikan Lyn.

Walau keduanya begitu serupa, tapi tidak dengan karakter. Lyn cenderung diam. Berbicara hanya kepada beberapa teman yang dikenalnya. Bahkan Lyn termasuk orang yang pendiam diantara teman-temannya  yang cerewet. Lyn bertutur lembut dan jelas sangat baik hingga perlakuan buruk yang ia dapatkan dari beberapa orang pun dia maafkan.

Nah, Eve ini sepertinya kebalikan dari Lyn. Eve saat mulai pertama kali menjadi siswi di kelasnya, cewek itu tampak supel dengan berusaha bertanya untuk menggali informasi tentang sekolah barunya ini. walau tak jarang ia mendapatkan perlakuan tak menyenangkan, seperti saat mendekati Mega dan Varen kedua cewek itu langsung pergi meninggalkan Eve yang bahkan belum sempat mengeluarkan sepatah kata. Tapi masih ada beberapa teman yang tampak biasa saja dan tak terlalu memusingkan hal itu.

Namun, Eve itu terkadang sosoknya berganti saat sendirian. Raut wajahnya kaku dan kesedihan jelas sekali tergambar di wajahnya. Menurut analisis Denny sendiri Eve bisa berubah menjadi sangat dingin. Mungkin saja Eve masih bersedih dengan kepergian saudari kembarnya. Apalagi saat meninggalpun keduanya tak sempat bertemu.

"Eve," panggilnya tiba-tiba. Eve mengalihkan pandangan pada Denny lalu menatap cowok itu dengan pandangan bertanya.

Denny mendadak diam. Ah, mulutnya bergerak sendiri. Sungguh sebenarnya dirinya hanya bergumam dalam hati, tapi tahu-tahu mulutnya seenaknya keceplosan.

"Eee... gue ke kelas duluan ya. bye," ucapnya langsung pergi dari sana, meninggalkan Eve kebingungan dengan tingkahnya. Langkahnya lebar-lebar menjauh dari kantin.

Langkahnya terburu-buru sampai ia melupakan sesuatu yang sangat penting.

*****

Denny berjalan dengan kepalanya dipenuhi Eve. Ah, kenapa dirinya bertingkah aneh seperti itu sih. Beberapa teman menyapanya pun ia abaikan. Mungkin karena tiba-tiba kepalanya sibuk memikirkan cewek bernama Evelyn ini.

Tak terasa langkah kakinya berhenti di lantai 3 deretan kelas 12 IPA. Kakinya berbelok ke kelasnya dengan kekesalan yang masih sama. Bahkan saat teman-temannya yang berkumpul di bangku belakang menatapnya dengan kerutan di dahi masing-masing, masih saja tak sadar. Langkahnya berhenti di sebuah bangku dan langsung saja duduk di atasnya.

"Den," panggil Yogi yang membuat Denny menoleh padanya dengan tatapan sewot.

"Apa?!"

"Ya... jajan pesenan kita mana?"

Pertanyaan yang baru saja meluncur dari Yogi sanggup membuat Denny terbungkam. Tangan kanannya reflek langsung menepuk dahi. Menyadari titipan teman-temannya tertinggal di meja kantin di depan Eve. "Sorry, tadi ketinggalan. Bentar gue ambil dul-"

"Ini, belanjaan lo kan, Den?" seseorang menyodorkan dua kantung kresek berisikan belanjaan Denny tadi. Beberapa snack dan minuman yang sudah tak dingin lagi, yang meninggalkan butiran-butiran air di luar kantong kresek satunya.

Denny menoleh pada pemlik tangan yang menyerahkan kantung kresek padanya. Sosok Eve muncul sebagai pemilik tangan putih pucat tersebut tersenyum. bukan hanya Denny yang terkejut, teman-teman yang lain juga.

"Ah, makasih. Untung ada lo, Eve. Makasih." Denny tersenyum bahagia karena beruntung belanjaannya sudah dibawakan oleh Eve.

Eve mengangguk lalu berjalan menuju ke bangkunya. Teman-teman lain langsung mengambil titipannya, sedangkan Denny masih terpekur menatap Eve yang kali ini terlihat mengobrol dengan Yeni dan Mia.

*****

Eve menatap bosan pada pemandangan jalanan yang cukup padat. Hari ini ia pulang cepat karena salah satu guru di sekolahnya meninggal dunia. Makanya sekolahnya akan libur selama 3 hari untuk memperingati kematian beliau. Beberapa temannya juga menjadi perwakilan untuk melayat ke rumah duka.

Eve mengalihkan pandangan ke langit. Ah, memikirkan kematian dirinya mendadak teringat kematian saudari kembarnya itu. ia menarik nafas dalam kemudian dihembuskannya pelan. Ah, akan terasa aneh jika tiba-tiba menangis. Pasti nanti dipandang aneh oleh supir taksi.

Kendaraan roda empat itu perlahan menepi hingga akhirnya berhenti di depan sebuah pelataran luas sebuah gedung perkantoran. Eve keluar dari dalam taksi setelah memberikan uang pada sang supir taksi. Kepalanya mendongak ke arah gedung tinggi dengan dinding penuh dengan kaca. Sudah cukup lama ia tak kesini. Terakhir ia kesini saat ulang tahun perusahaan.

*****
TbC


Setelah Kepergianmu (Sekuel Jantung Atau Hati)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang