Itu adalah pertama kalinya Fina melakukan hal semacam itu. Ia tidak menyesalinya karena ia melakukannya dengan laki-laki yang ia pilih. Justru ia pikir, dengan melakukannya, rasa cinta Renaldi akan semakin besar padanya, dan Renaldi akan semakin peduli dengannya. Sebab sudah beberapa bulan ini, Renaldi menunjukan sikap yang sangat baik. Ia juga tidak melirik perempuan lain selain kekasihnya.
Nyatanya, beberapa hari setelahnya, apa yang Fina pikirkan memang terjadi. Renaldi semakin dekat dengannya, semakin perhatian, bahkan lebih sering mengajak Fina bertemu.
"Yah udah enggak bisa tidur larut malem lagi." Kata Renaldi melalui telepon di hari terakhir liburan sekolah.
"Bagus, dong? Tidur terlalu malem kan enggak bagus untuk kesehatan."
"Tapi sinyal malem itu lagi bagus-bagusnya, Fin. Enak buat main game bareng temen-temen."
"Hahaha, kamu rela-rela enggak tidur cuma demi main game."
"Eits, aku juga bisa aja rela enggak tidur demi bisa main sama kamu."
"Hahaha, iya kamu bisa. Tapi aku yang enggak bisa. Jam sembilan aja udah ngantuk."
"Hahaha, iya. Mata kamu cepet banget merah kalo udah jam sembilanan."
"Itu karena aku nahan ngantuk."
"Kamu hidupnya teratur, kalau udah waktunya tidur, ya tidur. Jangan dipaksain makanya."
"Kamu tuh yang jangan maksain tidur larut malem demi main game."
"Iyaa, kan besok udah mulai sekolah. Kalo enggak libur, mah, aku enggak main game malem-malem."
"Gitu dong. Bagus."
"Oh iya, Fin. Boleh enggak sekali-kali aku makan siang berdua sama kamu?" Tanya Renaldi.
Fina terdiam sebentar. Ia ragu untuk mengiyakan permintaan kekasihnya. Bagaimanapun juga, sejak kecil, ia selalu menghabiskan waktu istirahatnya bersama dengan Rafi, sahabatnya. Ia takut Rafi marah kalau suatu saat ia tidak makan siang dengan Rafi.
Namun di sisi lain, Fina ingin mengiyakan ajakan kekasihnya. Ia juga ingin merasakan makan berdua dengan Renaldi di kantin. Apalagi selama berpacaran, ia belum pernah terlihat makan bersama di kantin. Kebersamaannya di sekolah hanya saat diantar ke sekolah, di kelas, beberapa saat sebelum Fina pergi ke kantin, dan saat Renaldi mengantarnya pulang.
"Boleh, kok." Kata Fina pelan.
"Yaudah, kalo udah sekolah, kita makan bareng, ya!"
"Iyaa, Di."
"Kamu seneng, enggak besok udah sekolah lagi?"
"Aaaaahhhhh... Dibilang seneng, sih seneng. Tapi dibilang males, aku males. Hahaha."
"Hahaha." Renaldi tertawa. "Kalo kamu yang belajarnya rajin aja males, apalagi aku?"
"Hahaha, iyaa. Kamu bete dong besok udah mulai sekolah."
"Kalo aku masih sendiri, sih, pasti bete. Tapi karena di sekolah ada kamu, aku justru seneng banget."
"Hahaha bisa aja."
"Aku serius, Fin." Balasnya. "Semenjak kamu jadi pacarku, kamu belum pernah liat aku bolos, kan?"
"Belum pernah."
"Naah. Itu artinya aku beneran seneng ketemu kamu."
"Aku juga seneng ketemu kamu."
"Masa, sih?"
"Buktinya aku enggak pernah bolos juga."
"Hahaha. Kamu mah sebelum pacaran sama aku juga enggak pernah bolos, Fin."
"Hahaha."
"Hahaha."
Keduanya terdiam beberapa saat.
"Fin?" Renaldi memecah hening.
"Iya?"
"Aku sayang kamu, Fin." Ucap Renaldi pelan.
Fina tersenyum seketika. Manis sekali, kamu, Di. Pikirnya.
"Aku juga sayang kamu, Di." Balas Fina.
"Yaudah, kamu tidur, Fin. Mata kamu udah merah, tuh."
"Hahaha, sok tau. Belum merah, kok."
"Tapi ini udah jam setengah sepuluh."
"Iyaa, aku juga udah mulai ngantuk.
"Yaudaah. Good night, Fin."
"Good night, Di."
--
Hehehe jangan baper yaa
KAMU SEDANG MEMBACA
21+ | RAFINA (END)
RomanceRenaldi mulai mendekat, posisi tangannya mulai ia pindahkan hingga dapat memeluk kekasihnya dari samping. Fina hanya terdiam, Dengan perasaan yang sedikit panik, dengan jantung yang berdegub mengencang, ia tetap menikmati hangat tubuh Renaldi. Kedua...