"Fi, gue makan siang bareng Renaldi dulu, ya, hari ini?" Ucap Fina saat Rafi mengajaknya ke kantin.
Rafi mengernyitkan dahinya. "Tumben banget?"
"Iya nih, tiba-tiba Renaldi ngajakin makan siang bareng."
"Kan selama ini dia udah tau kalo lu makan siang selalu bareng gue?"
"Dia emang udah tau. Kemaren dia nanya gue, boleh enggak kalo makan siang bareng. Terus gue bilang boleh. Gapapa kan Fi? Sesekali doang, kok. Enggak setiap hari."
"Terus gue makan siang bareng siapa?"
"Sama Intan?"
"Ah enggak mau."
"Loh kenapa?"
"Enggak mau aja."
"Yaudah sana ajak Tania."
"Tania mana mau makan siang bareng gue?"
"Coba aja dulu."
"Tania enggak bakalan mau. Ngobrol aja jarang, lah masa tiba-tiba gue ngajak dia makan bareng?"
"Yaudah terserah lu, Fi, mau makan siang sama siapa. Gue ke Renaldi dulu yaa." Kata Fina sebelum ia pergi meninggalkan Rafi.
Rafi hanya terdiam menatap sahabatnya yang sudah meninggalkannya. Dia cukup kesal hari itu sebab merasa semua waktu bersama sahabatnya telah direnggut oleh Renaldi. Rafi sudah tidak lagi menjemput Fina untuk berangkat sekolah, dia juga sudah tidak lagi mengantarnya pulang. Saat akhir pekan atau libur panjang pun, dia juga sulit untuk bermain dengan Fina, karena ia lebih memilih untuk pergi dengan Renaldi. Dan kini? Satu-satunya waktu rutin untuk bersama dengan sahabatnya juga sudah direnggut oleh Renaldi.
Rafi memutuskan untuk makan siang seorang diri di kantin. Di sudut kantin, ia pandangi Fina yang makan siang bersama dengan pacarnya. Keduanya makan siang di sana sambil sesekali tertawa lepas. Entahlah, terlihat bahagia sekali.
Rafi mengaduk-aduk mie ayamnya, lalu memakannya dengan penuh emosi. Ia masih kesal dengan sahabatnya. Selama ini memang pernah Fina tidak bisa makan siang bersama, begitupun sebaliknya, pernah juga Rafi yang tidak bisa ikut makan siang bersama. Tapi itu hanya karena ada keperluan mendadak, seperti mengerjakan tugas yang belum diselesaikan, atau mungkin jika sedang tidak enak badan, atau saat benar-benar ngantuk dan ingin menghabiskan waktu untuk tidur di jam istirahat.
Tapi, kali ini Fina meninggalkannya untuk makan siang bersama dengan pacarnya. Yang selama ini sudah memperkecil kesempatan Rafi untuk bermain dengan teman sejak kecilnya. Namun, Rafi tetap memilih untuk bersabar. Ia tidak ingin memarahi Fina sebab apa yang ia lakukan. Rafi tidak ingin bertengkar hanya karena permasalahan kecil seperti ini. Tapi, sore nanti di rumahnya, ia akan bahas ini dengan Fina, tanpa emosi, tanpa pertengkaran.
--
"Tadi Renaldi mampir dulu?" Tanya Rafi saat baru saja merebahkan tubuhnya di sofa ruang tengah rumah Fina.
"Renaldi? Enggak, dia langsung pergi, katanya mau ngumpul sama temen-temen tongkrongannya."
"Oh gitu. Kirain mampir dulu."
"Enggak kok."
"Kalo dia mampir dulu, emangnya enggak bosen? Gue liat-liat lu berduaan mulu."
"Mana mungkin bosen. Yang ada gue seneng."
"Hahaha." Rafi tertawa.
"Renaldi itu manis banget tau, Fi. Gue bisa jatuh cinta berkali-kali sama dia."
"Ah gue juga manis."
"Iya manis. Tapi manisnya ke gue doang. Makanya sampe sekarang lu jomblo."
"Ih, songong."
"Tapi bener, kan?"
"Gue cuma bersikap manis sama cewek yang gue sayanglah. Ngapain gue manis-manis ke cewek yang enggak gue pentingin?"
"Iya, sih. Eh tapi, Fin. Renaldi pernah protes, enggak, sih, kalo lu main sama gue terus?"
"Protes gimana?"
"Ya protes. Ngelarang lu supaya enggak main sama gue. Atau marahin lu gara-gara lu main sama gue."
"Dia enggak pernah marah sama gue, Fi."
"Yakali?"
"Serius. Dia enggak pernah marah sama gue sama sekali. Dia juga enggak pernah ngelarang-larang gue untuk main sama lu."
"Alhamdulillah."
"Tenang aja, Fi. Lu itu sahabat gue dari kecil. Gue udah kenal lu jauh lebih dulu sebelum gue kenal Renaldi. Kalo Renaldi ngelarang gue untuk main sama lu, ya gue enggak bakal nurutin kemauannya lah. Emangnya dia siapa ngelarang-larang gue main sama sahabat gue sendiri?"
Rafi terdiam, lalu tersenyum menatap sahabatnya.
"Ih senyum-senyum." Fina meledek.
"Jangan ngerusak suasana. Gue lagi terharu."
Fina meninju pelan lengan Rafi. "Hahaha, lebay lu ah."
"Bodo amat!" Rafi mengacak-acak rambut sahabtnya.
Malam itu, Rafi cukup tenang dengan apa yang dikatakan Fina. Mau bagaimanapun juga, Fina adalah sahabatnya sejak kecil. Tidak ada yang bisa menghalanginya untuk dekat dengan sahabatnya sendiri. Termasuk Renaldi yang kini menjadi kekasih Fina.
Fina sendiri yang mengatakan hal itu. Sehingga hilang segala kesal yang muncul siang tadi. Hilang pula kecemasannya tentang takutnya kehilangan satu-satunya sahabat sejak kecilnya.
--
Jangan lupa vote ya!
KAMU SEDANG MEMBACA
21+ | RAFINA (END)
RomanceRenaldi mulai mendekat, posisi tangannya mulai ia pindahkan hingga dapat memeluk kekasihnya dari samping. Fina hanya terdiam, Dengan perasaan yang sedikit panik, dengan jantung yang berdegub mengencang, ia tetap menikmati hangat tubuh Renaldi. Kedua...