Sepulang sekolah, Rafi memutuskan untuk segera pergi ke rumah Fina. Ia ingin memastikan sahabatnya baik-baik saja. Tidak lupa ia mampir ke sebuah pasar swalayan untuk membeli beberapa buah dan susu cokelat. Rafi tahu batul, bahwa Fina sangat menyukai susu cokelat.
Setelah sampai di rumah Fina. Rafi segera membuka gerbang rumah itu, lalu memasukkan sepeda motornya untuk diparkir di dalam. Setelahnya ia ketuk pintu rumah Fina, agar orang di dalam tahu akan kehadirannya.
Pintu dibuka oleh Ibu Fina.
"Assamau'alaikum, Tan."
"Wa'alaikumussalam. Mau jenguk Fina, ya?"
"Iyaa, Tan. Biasa."
"Maaf ya, Fi. Finanya lagi enggak mau dijenguk."
"Emangnya kenapa Tante?"
"Dia lagi lemes banget. Enggak mau ketemu orang dulu."
"Termasuk saya?"
"Iya, dia bilang sih begitu."
"Oh yaudah, deh, Tan. Aku nitip ini aja." Rafi memberikan sekantong buah dan susu cokelat yang ia beli tadi.
"Maaf ya, Fi." Kata Ibu Fina sekali lagi
"Gapapa kok, Tan." Balas Rafi sebelum akhirnya ia pergi meninggalkan rumah Fina.
"Lu sakit apa, Fin?" Rafi mengirimkan pesan pada Fina. Namun setelah lama menunggu, nyatanya Fina tidak membalas pesan itu.
--
Fina terus menangis karena masih mengingat-ingat mantan pacarnya yang bajingan betul kelakuannya. Fina tidak bisa berbuat apa-apa. Ia tidak bisa menerima perlakuan mantan pacarnya, namun ia juga tidak bisa menuntut apapun darinya.
Bagaimana tidak? Renaldi sudah merenggut kesuciannya yang selama ini ia jaga. Laki-laki sialan itu sudah merampas kehormatan Fina, lalu pergi begitu saja tanpa alasan yang jelas. Hingga Fina kini hanya bisa menangisinya. Menangisi berkali-kali entah sampai kapan tangis itu bisa mereda.
Karena baginya ini masalah yang begitu rumit. Ia merasa bodoh. Sudah tahu keperawanan begitu berharga buatnya, namun dengan mudahnya ia memberikan. Memang kenyataannya banyak diantara teman-temannya yang sudah melakukan hubungan seperti itu berkali-kali dengan kekasihnya. Dengan saling menyetujui perbuatan itu, dengan mengerti konsekuensi yang akan didapatkannya.
Fina memang menyetujuinya saat hendak melakuakannya. Tapi kini, ia benar-benar menyesal. Sebab laki-laki yang ia pilih justru bajingan. Bisa dengan mudahnya berubah setelah puas melakukan apa yang ia inginkan.
Entahlah, Fina tidak berani menceritakan hal ini pada siapapun, termasuk keluarganya dan sahabatnya.
--
Keesokan harinya, sepulang sekolah Intan menemui Rafi yang sudah berada di parkiran motor.
"Fi, Jenguk Fina, yuk?"
Rafi menoleh saat menyadari Intan sudah berada di belakangnya. Dalam hatinya, ia enggan untuk pergi bersama dengan Intan. Rafi sudah lama tidak senang dengan Intan. Namun, setelah dipikir-pikir, bisa jadi, Fina mau dijenguk oleh Intan.
"Sekarang?" Tanya Rafi.
"Iyaa, gue nebeng, ya?"
"Yaudah, ayo." Balas Rafi.
Rafi hanya terdiam di perjalanan, ia tidak ingin banyak bicara dengan Intan. Dan sesampainya di rumah Fina, benar saja. Orang tua Fina membolehkan keduanya masuk. Namun, Fina tetap tidak keluar dari kamarnya.
Setelah beberapa menit terduduk di ruang tengah, akhirnya Fina sedikit pintu kamarnya, lalu menyuruh Intan untuk masuk ke kamarnya. Rafi hanya memandanginya. Walau tidak terlalu jelas, namun Rafi bisa melihat bahwa Fina sedang tidak baik-baik saja.
Mungkin, setelah beberapa hari menangisi Renaldi, Fina tidak kuat menahan untuk tidak bercerita pada siapapun. Ia putuskan untuk bercerita dengan Intan, salah satu sahabatnya. Ia tidak bisa ceritakan hal itu pada Rafi, karena ia seorang laki-laki yang sepertinya tidak bisa memahami bagaimana rasanya menjadi perempuan.
"Kamu jangan bilang Rafi, ya." Kata Fina pelan. Suaranya terdengar serak.
Fina ceritakan semua yang ingin ia ceritakan pada Intan. Mulai dari bagaimana sikap Renaldi saat awal dekat, bagaimana sikap Renaldi saat menjadi kekasihnya. Apa saja yang sudah dilakukannya dengan Renaldi, dan sikap-sikap Renaldi yang mulai berubah sebelum akhirnya keduanya berpisah.
Fina menangis, dan Intan berusaha untuk menenangkan.
"Iyaa, aku enggak bakal ceritain ke dia." Balas Intan setelah mendengar semua cerita Fina.
Intan mengerti bagaimana perasaan Fina. Ia mencoba untuk menenangkan Fina. Sebagai perempuan, ia paham bahwa kehilangan keperawanan memang bukan hal yang mudah dihadapi perempuan. Sebab hal itu sangat erat kaitannya dengan budaya serta pola pikir masyarakat banyak yang menganggap perempuan yang sudah tidak perawan berkurang nilainya sebagai perempuan. Intan mengerti hal itulah yang menyebabkan Fina tertekan setelah ia kehilangan keperawanannya. Intan mengingatkan Fina untuk tidak berlarut-larut memikirkan itu.
Dan Rafi? Ia sama sekali tidak menanyakan hal apa yang tejadi pada Fina, namun Rafi yang sudah lama mengenal Fina, mencoba untuk menghiburnya. Ia selalu menjadi sahabat yang baik untuk Fina.
Keesokan harinya, sepulang sekolah Rafi datang lagi ke rumah Fina. Rafi ingin selalu ada saat Fina terjatuh seperti saat ini. Rafi memberikan waktunya untuk Fina, demi menghiburnya. Demi mengesampingkan luka pada hati sahabatnya itu. Tidak hanya waktu, Rafi terus melakukan hal-hal lain untuk menghibur sahabatnya. Seperti sebatang cokelat, seikat bunga, dan sebuah boneka.
"Makasih ya, Fi." Katanya setelah ia menerima sebuah boneka dari Rafi.
"Hahaha, sama-samaa."
"Udah enggak sedih-sedih lagi, kan?"
"Udah enggak kok." Fina tersenyum. Rafi ikut tersenyum melihatnya.
"Iyalah, ngapain, sih, nangisin cowok mulu. Enggak penting."
"Iyaa, Fi. Gue udah enggak mau nangisin dia lagi."
"Iya, daripada nangis. Mendingan ketawa."
"Hahaha."
"Nah, gitu kan cakep."
"Emang selama ini enggak cakep?"
"Enggak. Hahaha." Rafi tertawa. Fina ikut tertawa sebal.
--
Jangan lupa votenya ya guys!
KAMU SEDANG MEMBACA
21+ | RAFINA (END)
RomanceRenaldi mulai mendekat, posisi tangannya mulai ia pindahkan hingga dapat memeluk kekasihnya dari samping. Fina hanya terdiam, Dengan perasaan yang sedikit panik, dengan jantung yang berdegub mengencang, ia tetap menikmati hangat tubuh Renaldi. Kedua...