Arena 26

1.3K 126 0
                                    

"Harus banget ya pulang?" Rian berdiri di samping Fajar yang lagi nyuci piring. Tadi setelah makan, Fajar nawarin diri buat cuci piring mereka. Cari muka kalo kata Rian mah.

"Iya, harus. Kenapa? Takut kangen?"

"Najis, pede banget."

"Biarin, yang penting sombong."

Rian ngedecak dengernya.

"Pulang kapan lagi?"

"Ya, ini pulang."

Jengkel, Rian nyubit pinggang Fajar sekuat tenaga. "Pecah, Baby."

"Ke apartemen kita maksudnya."

Selesai beresin piring, Fajar ngelepas sarung tangan yang dia pake, ngusap tangannya yang masih basuh ke baju Rian. "Satu minggu lagi, kan? Seneng dong harusnya. Kan bebas seminggu lebih cepet."

"Apasih."

"Lo yang kenapa? Bilang aja."

"Emang gue mau bilang apa?"

"Gak mau gua pulang? Kenapa?

"Ya, gak tau. Firasat gua gak enak aja. Siapa tau ntar keserempet onta di jalan, keselek kulit durian, diculik vampire, diperkosa pocong."

"Oke." Rian berenti, Fajar ketawa. Gendong badan Rian dan naikin ke counter di samping tempat nyuci piringnya tadi terus ngecup bibir Rian.

"Bilang apa yang mau lo bilang."

"Tadi udah bilang."

"Tsunderenya berenti dulu."

Rian buang muka, malu. "Ya, takut aja lo ninggalin gua setelah puas ngehajar depan belakang."

"Gak enak banget sih bahasanya." Fajar ngusap pipi Rian lembut. Lembut banget kayak Rian balon air sabun yang ditoel pecah. "Kayaknya lo tau kalo gua sayang sama lo."

Rian ngangguk.

Fajar nangkup pipinya biar mereka saling tatapan lagi. "Dan lo tau gua selalu pegang kata-kata gua."

Rian lemah, Daddy.

Gak kuat liat Fajar yang mandang di sendu kayak gini dan masih nangkup pipinya. Akhirnya Rian naruh kedua tangannya dibahu lebar Fajar sebelum ngelingkarin di bahunya. "Bilang satu janji yang bikin gua tenang."

Fajar senyum. "Gua janji bakal pertahanin lo semampu gua."

Diiringi ciuman di bibirnya. Saling nempelin badan satu sama lain dan ngelumat lembut yang sampai di hati masing-masing.

Jujur, Rian mabuk.

Mabuk sama rasa yang diluapi Fajar dari ciumannya kali ini.

Sampai suara Kevin nyudahin pergumulan mereka.

"Rian, dipanggil Babah.

.

Rian gak berenti mondar-mandir di kamarnya. Ini udah jam 7 malem dan terakhir Fajar hubungin dia jam 3 sore waktu mau pulang ke rumahnya.

"Kenapa sih kampret? Gak bisa diem banget."

"Fajar belum ngasih kabar."

Ya elah, pisah baru setengah hari doang. Kissmark juga masih belum ilang."

"Khawatir gua, anjing." Rian tiduran di samping Kevin, meluk guling sambil terus liatin hpnya.

"Biasa aja kali, Yan. Kayak udah seminggu gak dikasih jatah lo."

"Kayak sebulan gak dinafkahin gua."

"Taik, lebay banget."

"Bodo. Lo mana ngerti sih."

"Sebenernya lo kenapa sih?"

"Kalo Fajar tiba-tiba ninggalin gua gimana, Vin?"

"Cari yang baru lah, tolol."

Guling yang tadinya dipeluk, dia hantamin ke muka Kevin. "Ah, anjing emang!"

"Lagian ngapain juga si Fajar ninggalin lo?"

"Ya, kali aja." Rian jadi kalem seketika. Mukanya melas sambil ngetuk-ngetuk hpnya." Ekspresi dia beda banget waktu terima telepon tadi."

"Beda gimana? Perasaan lo doang kali."

"Hampir satu bulan ini gua sama Fajar, Vin."

"Baru satu bulan."

"Denger dulu, kampret." Rian duduk di kasurnya. "Gua tau banget ekspresi marah, jengkel, kesel dia."

"Tunggu aja sampe besok, kalo belum ada kabar ya lo telepon siapa aja yang bisa bantu lo."

.

Selesai makan malam, orang tua Fajar minta mereka semua kumpul di ruang tengah buat ahas Fajar yang katanya pacaran sama Rian dan Akbar yang ikut-ikutan jejak kakaknya.

"Apa untungnya pacaran sama cowok sih, Jar? Kamu masih bisa dapet cewek cantik, banyak yang suka sama kamu."

Fajar ngga berani natap wajah ibunya. Dia agak takut kalo denger suara ibunya getar nahan tangis gini, apalagi gara-gara dia.

Bukannya Fajar gak berani, dia cuman butuh waktu yang tepat. Biar bahasan ini cukup Fajar sama ibunya, gak merambat ke yang lain. Apalagi Akbar.

"Mama pikir kamu bisa dipercaya. Liat adik kamu sekarang, dia jadi ikut kamu, kan?"

"Akbar kayak gitu karena Akbar suka sama Kak Reza, Ma, bukan karena Kak Fajar."

Akbar jawab. Tangannya ngegenggam tangan Praveen erat buat ngomong kalimat itu.

Fajar ngedesah panjang sebelum angkat kepalanya. "Ma, ini pilihan Fajar."

"Kamu bisa milih yang lebih baik daripada suka sama cowok!"

"Sayang..." Ayah Fajar ngusap punggung istrinya buat sedikit nenangin.

"Apasih kurangnya Shakira? Cewek sebaik itu masih kurang buat kamu?"

"Kenapa Mama niat banget jodohin aku sama Shakira? Kenapa gak Kak Praveen yang jelas-jelas lebih dewasa dari aku? Jelas-jelas bisa nerima kemauan Mama tanpa terpaksa? Kenapa aku?

Mama Fajar diam. Ngatur napasnya yang mulai gak karuan karena emosi sambil ngepalin tangannya.

"Nenek kamu bener, harusnya Mama lebih merhatiin perkembangan kamu dari kecil."

Fajar senyum kecil. "MAma?" berdiri sambil narik Akbar kearahnya. Beruntung genggaman di tangan Praveen tadi udah kelepas. "Mama mau, nasib anak aku atau Akbar nanti kayak aku sama Kak Praveen?"

"Fajar!" kali ini suara tegas ayahnya.

"Fajar gak mau jadi kayak lelaki itu. Bukan gak mau jadi gay, tapi gak mau ngelakuin hal terpaksa yang bisa berkepanjangan."

Tbc.

Arena (FAJRI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang