Arena 28 END

2.5K 147 36
                                    

"Apa-apaan lo ngomong gitu ke Mama?" Praveen dateng sambil marah-marah ke Fajar. "Gua tau lo marah, tapi tetep aja gak sopan ngomong kayak gitu ke Mama, Jar. Inget, Mama yang ngerawat kita dari kecil."

"Tau gua." Fajar ngedecak. Ngacak rambutnya yang dari tadi emang udah berantakan sebelum natap si kakak yang mandang dia kesel. "Mama dimana sekarang? Gue butuh ngomong."

"Di taman belakang. Nangis."

Fajar ngecelos. Duh, dia mana tega sih bikin ibunya nangis. Fajar tuh paling gak suka ngebantah ibunya, tapi kalo udah gini dia mau gimana lagi? Masa iya iya aja kalo ibunya mau pisahin dia? Ini kan buat masa depan dia juga.

"Gue samperin Mama dulu, kak."

Praveen ngangguk, merhatiin Fajar yang jalan keluar kamar buat ketemu sama ibu mereka sebelum langkahnya pindah ke kamar adiknya yang lain.

Gak cuman ibunya aja yang nangis, Akbar sekarang di kamarnya pasti sama. Pusing Praveen.

.

"Mama..." Fajar duduk di sebelah ibunya yang lagi nangis sendirian di taman belakang rumah mereka. "Maafin Fajar ya."

Gak ada tanggapan.

"Fajar gak mau bahas itu, Ma, serius. Tapi gimana lagi kalau itu buat masa depan Fajar juga? Fajar tau mana yang baik, jadi Fajar mau pilih sendiri."

Ibunya tetap diam. Fajar gak bisa lagi cuek kalo udah kayak gini. Fajar gak mau ngungkit luka lama kita, tapi Fajar juga gak mau nutup mata."

"Ayah kandung kamu ninggalin kita karena lelaki, Fajar, dan dia nyesel setelah 3 tahun pergi." mulai ibunya. "Mama gak mau nanti kamu nyesel juga."

"Mama ketemu sama dia lagi?"

"Dia sempet dateng mau liat kamu sama Praveen." dia natap Fajar sebelum ngelanjutin. "Mama gak pernah masalah sama hubungan sejenis, Jar, tapi Mama takut kamu juga nyesel nantinya."

"Ma, percaya sama Fajar, Fajar bisa jaga omongan Fajar sendiri."

"Iya, itu kamu," saut ibunya lagi. "Kalau pasangan kamu yang mau hidup sama cewek gimana?"

Fajar senyum kecil denger kekhawatiran ibunya. "Rian gak akan kayak gitu, Ma. Percaya sama Fajar."

Ibunya ngangguk kecil sebelum jawab. "Bawa pacar kamu kesini, kalau Mama gak suka, jangan di lanjutin."

Fajar cemberut. "Jangan gitu dong, Ma, dia tuh kasar, jarang ada yang suka sama dia."

.

"Ini beneran ke rumah lo?" tanya Rian di tengah perjalanan. Jantungnya gak berenti balapan saking gugupnya.

"Masa ke rumah hantu."

"Kalo dia gak suka sama gua gimana? Kalo kita disuruh pisah gimana?"

"Ya, tinggal pisah."

"Si anjing." Rian ancang-ancang mau mukul kepala Fajar, tapi dicegah karena Fajar bilang dia lagi nyetir. "Gak bisa serius apa lo sekali-kali sama gua."

"Mananya yang nggak serius?"

"Ya. omongan lo gak pernah serius."

"Gua gak doyan omong sih," balesnya yang di sambut dengusan Rian. Iyasih emang, Fajar lebih ke ngebuktiin di banding banyak omong. Dia merhatiin Fajar yang fokus nyetir walau sesekali ngelirik dia intens. Rahang Fajar kayak ngeras gitu, gak bisa nutupin lah kalo Fajar juga khawatir.

"Kalo lu belum siap kenapa harus sekarang sih, Jar?" tanyanya lagi. Usapan di rambut Rian jadi jawaban setelahnya.

"Terus mau kapan, baby? Gue gak suka nunda-nunda waktu."

Rian diam.

Gak ada lagi percakapan sampe mereka udah parkir mobil di depan rumah Fajar. Rian nolak turun, tangannya justru narik satu tangan Fajar buat digenggam erat. "Takut, Jar."

Fajar ngusap muka Rian pake tangan satunya, ngasih satu kecupan di bibir Rian dan saling natap satu sama lain. "Ada gue, lo gak sendirian."

"Percuma," kekeuhnya. "Kalaupun lo di minta milih, pasti lo bakal milih ibu lo kan? Terus nanti gimana kalau-"

"Rian!" suara Fajar sukses bikin dia kicep. "Gue bisa di andelin, oke?"

Pada akhirnya Rian ngangguk dan mereka turun dari mobil.

Rian gak bisa lepas genggaman tangan mereka. Fajar malah beberapa kali ngerutin keningnya nahan sakit karena genggaman Rian yang suka tiba-tiba kenceng sampe mereka masuk ke ruang tengah.

Semua keluarga Fajar udah kumpul disana, kecuali ibu Fajar. Fajar sama Rian ngasih salam.

"Kak Rian!" Akbar nyamperin terus meluk Rian yang dibales pelukan canggung.

"Akbar udah deket?" tanya ayah Fajar yang liat interaksi mereka.

"Udah dong," jawabnya pede. "Mama nunggu Kak Rian tuh di dapur. Kak Rian aja, Akbar yang anterin. Kak Fajar gak boleh ngikutin."

Rian takut-takut ngeliatin Fajar. Tapi ya udah kepalang tanggung, akhirnya dia nyerah juga ditarik Akbar ke dapur buat ketemu sama ibunya Fajar.

.

"Kamu gak bisa masak?" Itu pertanyaan pertama yang keluar setelah dari tadi ibu Fajar minta Rian buat ngelakuin ini itu. Ngiris cabe lah, belahin buah lah, kocok telor lah, sampe motongin sayuran.

Tapi ya diliat dari segi manapun keliatan banget kakunya Rian megang pisau.

"I-iya, Tante."

Rian jadi nyesel gak denger kata Babahnya buat belajar masak. Duh, padahal Shakira kan jago banget masak.

"Terus selama ini Fajar dong yang masakin kamu?"

Rian ngangguk kecil. "I-iya."

Ibunya ngehela nafas panjang. "Kok bisa sih?" tanyanya heran. Pengen dia sautin kalo dia laki, jadi gak perlu belajar masak, tapi Fajar bisa masak. "Mulai sekarang pulang kuliah kamu harus kesini, belajar masak."

Mau nggak mau dia ngangguk lagi diiringin senyum lebar. Kesini setiap hari, berarti tandanya Ibu Fajar udah nerima dia kan?

Iya, kan?

Rian mau koprol aja rasanya.

"Sekarang siapin piring aja di meja makan. Bisa kan?"

"Bisa, tante."

Sautnya semangat. Akbar yang dari tadi perhatiin ikut senyum liat ekspresi Rian yang tiba-tiba berubah kegirangan. "Kak Rian manis lama-lama. Pantes Kak Fajar sayang."




END!

Arena (FAJRI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang