Arena 27

1.3K 121 4
                                    

Rian gak bisa tidur semalem. Fajar gak ada kabar, gak bisa dihubungin dan nggak ngehubungin dia. Kalo gak gengsi, dia udah nangis kali di depan Kevin.

Sayang gengsi.

"Gak bisa tidur gua dari semalem lo gerak-gerak terus kayak cacing kena garem."

"Galau gua."

"Gak nanya."

"Anjing."

Gak guna emang ngomong langsung ke Kevin kayak gitu. Lagian toh sepupunya itu tau kalo dia lagi galau dari semalem.

"Telepon Anthony kek."

"Ngapain?"

"Suruh nyapuin aspal," saut Kevin nyolot. "Buat curhat lah. Siapa tau dia kenal orang yang deket sama si Fajar terus bisa bantuin lo."

Ada pelangi bling-bling di atas kepala Rian. Dia kayak habis dapet pencerahan dari Kevin begitu denger sarannya. Jadi, mau ngebenerin apa kata Fajar.

Dia emang bego.

Bego sebego-begonya.

Kenapa gak tanya Jonatan? Minta nomor Praveen terus nanyain Fajar-nya. Cepet-cepet Rian ngambil hp buat hubungin salah satu sahabatnya itu.

.

"Kak Fajar kena masalah gara-gara aku. Coba aja aku lebih bisa jaga ucapan aku ya, Kak." Akbar jatuhin kepalanya bahu Reza, lingkarin tangan di pinggang kakak kelasnya itu. "Kak, kalo kita pisah gak apa-apa kan?"

"Jalan kita masih panjang, Bar," sautnya kalem. "Aku sama kamu masih sama-sama sekolah."

"Kak?"

Akbar makin murung. Dia kira bakal dapet bantahan dari Reza dan minta mereka bertahan.

"Masih banyak yang harus kita lewatin ke depannya." Tangan Reza mulai ngusap rambut Akbar. "Kalau sekarang nyerah, gimana nanti?"

Akbar ngeremes baju Reza. "Kak Praveen bilang, seenggaknya satu dari kita harus ngalah."

"Kamu mau kita ngalah?"

"Aku gak mau Kak Fajar yang ngalah, Kak Fajar pasti sayang banget sama Kak Rian." Akbar naikin kepalanya buat natap Reza. "Aku gak pernah liat Kak Fajar murung kayak semalem, Kak."

Reza diem sebentar sebelum ikut natap mata Akbar "Aku gak mau."

"Kak..."

"Tapi sementara ini aku mau."

"Sementara?"

"Anggap kita udah selesai, tapi aku gak akan ngejauh dari kamu."

Reza narik kepala Akbar buat ngecup keningnya. "Inget ya," nada suaranya turun. "Kalaupun nanti kita ada di jalan yang beda, bukan karena aku gak sayang lagi sama kamu."

"Maksud Kakak?"

"Aku masih ada di jalan yang sama kayak kamu, masih di samping kamu. Selalu. Sampe kamu yang minta aku yang ngejauh. Ungkapin apa yang mau kamu ungkap, jangan sendirian karena kamu punya aku. Terserah kamu anggap aku apa."

.

"Tolol banget, sumpah."

Anthony ngedumel begitu sampe di tempat Rian. Tadi Rian telepon waktu dia baru bangun tidur, jadi gak fokus dan minta Rian tunggu aja di rumahnya buat cerita.

"Apalagi sih salah gua?"

"Gemes gua. Lama-lama gua gundulin juga kepala lo."

"Kenapa sih, Ny?" Kevin yang kepo ikut terlibat, pemirsa.

Perasaan Rian gak enak.

"Kan ada Reza, Yan. Dia kan pacarnya Akbar."

"Akbar siapa?" Sementara Kevin nanya, Rian udah ngerutuk gak jelas.

Triple begonya.

"Adiknya Fajar."

Kedenger banget Kevin yang narik nafasnya panjang. Emosi dia. "Emang tolol temen lo tuh."

"Sepupu lu."

Kevin natap tajam Rian. "Lo jangan malu-maluin gua kenapa sih, Yan? Bego gak nanggung-nanggung."

"Gua chat Reza suruh kesini." Anthony yang lagi megang hp mulai ngechat Reza.

Rian udah gak mau ngomong lagi. Yang ada dia malah jadi bulan-bulanan mereka kalo udah gabung gini.

"Btw Ny, lo gak ada kenalan cowok yang kaya Fajar, tapi yang seleranya bagusan dikit? Kayak gua gitu," tanya Kevin.

Rian tiduran, nutup semua mukanya pake bantal biar gak ikut percakapan mereka. Butuh keluar, tapi gak mood kemana-mana. Maunya sama Fajar.

"Kenapa gak sama mantan Rian aja."

"Aura dominasinya gak ada."

"Praveen aja, kakaknya Fajar."

Kevin ngecemik gak suka. "Ntar lagi asik enaena malah suruh pulang ibunya," sindirnya.

"Siapa lagi ya?" Anthony mikir keras. "Jujur aja nih, temen-temennya Fajar bibit unggul semua walau rada gila."

"Siapa aja?"

"Bayu, model. Tinggi, ganteng, tajir."

"Udah liat?"

"Keliatan kurus dari luar." jawab Anthony. "Kenas juga ganteng walau masih gantengan Jonatan."

"Vito." Anthony diem sebentar. "Lewat." sambungnya.

"Marcus..."

Kevin merhatiin detail waktu Anthony nyebut nama itu. "Lewat juga. Kalem, baik-baik, gak pengalaman, gak seru. Kaku kayak duit baru di setrika."

"Seru tuh kayaknya yang terakhir."

"Ya elah, ntar di tengah jalan dia tobat lahar lo malah beku."

"Vibrator gua masih banyak," decaknya. "Eh udah pernah nyoba yang kecil belum?"

"Gak enak, gak berasa. Biasa yang gede."

"Rian!" Rian lari buka pintu secepat kilat begitu namanya dipanggil. Pusing denger dua orang berantem gak guna gitu. Salah apa sih Rian kejebak sama uke gila?

"Kenapa, Dad?"

"Ajay-eh! Fajar di bawah."

Rian ngerut keningnya bingung. "Becanda."

Si Daddy ikut bingung. "Loh kok becanda?"

Rian lari kencang buat ke ruang tamu rumahnya dan nemuin Fajar yang ngobrol sama Babahnya disana.

Kayak dejavu.

Rian tanpa sadar ngeluarin sedikit air matanya. Dia lega banget. Akhirnya dia mulai ngedeket, duduk di sebelah Fajar tanpa ngucap sepatah kata pun. Cuman tangan mereka yang sekarang saling genggam kuat.

"Siap-siap, ganti baju kita ketemu Mama di rumah gue."

Rian melotot denger ucapan Fajar.

Mama?

Rumah Fajar?

"Gua mau nunjukin kalo gua gak main-main."

Tbc.

Arena (FAJRI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang