01

510 35 5
                                    

"Sayang, dimakan sotonya. Kamu kenapa hm?" Tanya Aldo khawatir, mengelus punggung tangan Vanya yang sedari tadi hanya mengaduk-aduk sotonya.

"Karena suami kamu lagi?" Tanya Aldo pelan. Tak kunjung mendapat respon dari kekasihnya, Aldo beralih duduk di sebelah Vanya dan merangkul bahu Vanya. "Kenapa lagi? Kalian tengkar? Atau bagaimana?"

Perlahan Vanya terisak. Kenapa bukan Aldo yang menjadi suaminya? Kenapa harus pria yang tidak pernah ia cintai yang harus menjadi suaminya saat ini?

Bahkan saat Aldo mengetahui tentang pernikahannya, lelaki itu tidak pernah marah, dan semakin yakin kalau pada akhirnya hanya ia yang Aldo cintai.

Vanya menatap nanar pada Aldo, "Aldo, tungguin aku tahun depan. Aku janji akan segera melepaskan pernikahan ini. Aku gak kuat, aku- aku cuma mau kamu, Al," lirihnya dalam pelukan Aldo.

Tidak ada yang mengetahui pernikahan Vanya dan Reygan di kampus Universitas Cendrawasih ini, bahkan teman terdekat Vanya sekalipun hal ini hanya diketahui oleh keluarga terdekat saja. Termasuk Aldo. Hal itu atas kemauan Vanya yang begitu sulit menerima pernikahan atas dasar perjodohan ini. Yang mana ini merupakan sebuah wasiat mendiang ayahnya yang meninggal satu tahun yang lalu.

Kalau bukan karena ayahnya, Vanya berani menolak hal ini mentah-mentah.

"Aku cuma sayang kamu, Al."

"Iya. Aku tau itu. Apapun keputusan kamu, akan selalu aku dukung," balas Aldo seraya memberikan kecupan singkat di puncak kepala Vanya. Membuat Vanya selalu merasa hangat di dekat Aldo.

"Ayo habisin sotonya. Kita udah sama-sama gak ada kelas. Nanti aku ajak kamu ngopi, mau?"

"Mau!!"

Pandangan itu tidak luput dari sosok pria yang berdiri cukup jauh di belakang mereka. Reygan menatap pemandangan itu dengan tubuh yang mulai terbakar api cemburu.

"Secepatnya saya akan buat kamu mencintai saya, Vanya."

***

Pukul setengah sepuluh malam, hal itu semakin membuat Reygan mondar-mandir di balik jendela rumah pribadinya dengan sang istri. Ia semakin cemas tidak mendapatkan kabar Vanya yang tak kunjung pulang juga. Ia sudah mencoba menghubungi Vanya, tapi tidak aktif.

"Vanya, kamu dimana! Argh!" Cemasnya seraya mengintip halaman rumahnya dari balik jendela.

BRUM

Deru sepeda motor sport membuat Reygan bernafas lega, ia kembali mengintip dari jendela.

Ia hanya bisa tersenyum miris melihat pemandangan romantis di halaman rumahnya.

"Kamu pulangnya hati-hati ya, Al. Nanti langsung kabarin aku!"

Aldo mengacak gemas rambut Vanya, "gemesin! Iya-iya. Kamu juga langsung tidur ntar lagi. Besok ngampus jam delapan. Aku jemput, oke?"

"Okey! Thanks for today, Al," Kata Vanya tulus.

"All for you. Aku pulang." Sebelum pulang, Aldo meninggalkan kecupan hangat di kening Vanya.

Sudah keberapa kalinya, Reygan hanya menjadi penonton keromantisan sang istri dengan pria lain.

Vanya membuka pintu rumahnya, dan ia langsung mendapatkan sosok Reygan yang duduk dengan tatapan tajam padanya.

"Dari mana saja kamu, Vanya?" Tanya Reygan penuh nada intimidasi.

"Jalan-jalan lah!" Jawab Vanya santai seperti biasanya. Terdengar begitu menyebalkan dan kurang ajar memang. Tapi itulah, Vanya. Gadis si keras kepala yang suka membangkang padanya.

Reygan beranjak dari duduknya, lalu mendekati istrinya. "Kamu itu sudah menikah Vanya! Dan kamu keluar tanpa izin dari suami. Apa ini pantas, Vanya?"

Vanya tertawa remeh, "hahaha! Suami? Idih! Apa bapak tidak mengerti, kalau selamanya saya tidak akan pernah menganggap pernikahan ini ada! Kalau bukan karena Papa, saya gak sudi nikah sama Bapak! Jadi gak usah ngatur-ngatur hidup saya!" Balasnya dengan nafas dan amarah yang menggebu-gebu.

"Setidaknya kamu menghargai pernikahan ini! Dan pernikahan bukan main-main Vanya!" Tukas Reygan naik beberapa oktaf, membuat Vanya memejamkan kedua matanya.

"SAYA GAK PEDULI! Dan jangan pernah bentak saya!" Akhirnya Vanya berjalan cepat meninggalkan Reygan yang menggeram frustasi.

"Arghhh! Sampai kapan kamu akan membuka hati untuk pernikahan ini, Vanya..."

Didalam kamar bernuansa putih dengan corak cokelat itu, Vanya merebahkan tubuhnya, menatap kosong langit-langit kamarnya.

Berhadapan dengan Reygan hanya membuatnya lelah untuk menjalankan kenyataan ini.

Menikah dengan dosennya di kampus karena wasiat mendiang papanya, disaat ia berharap hidup bersama Aldo.

Mana yang harus ia pertahankan?

Sungguh, hidup satu atap dan terikat janji suci dengan laki-laki yang tidak dicintai itu sangat menyiksa batin. Untuk mengakhiri dan melupakan sebuah hubungan dengan seseorang yang masih disayang itu bukanlah suatu hal yang mudah.

Tapi, membuat mendiang papanya kecewa juga bukan pilihannya.

Vanya memejamkan kedua matanya, membuat air matanya mengalir pelan. "Maafin Vanya Pa. Maafin sudah buat Papa kecewa. Tapi Vanya benar-benar sulit buat nerima pernikahan ini."

***

Setelah selesai membersihkan badannya, Vanya bersiap memoleskan make up natural di wajahnya. Meraih slin bag nya, ia turun ke lantai dasar. Sebelum itu, ia sempat menoleh kearah kamar Reygan yang terletak di sebelah kamarnya. Pintunya terbuka lebar. Ia mengintip sejenak, tidak ada Reygan di dalam. Kasurnya masih rapi, dan tidak ada suara gemericik air.

Apa mungkin pria itu sudah berangkat?

Ia hanya mengedikkan bahunya acuh, lalu bergegas ke dapur untuk membuat sarapan pagi untuknya.

Vanya terkejut melihat Reygan yang ternyata tertidur di sofa ruang keluarga. Kemeja navy dengan setelan formal pria itu masih melekat sempurna. Reygan benar-benar tertidur semalam disana.

Hati Vanya sedikit iba melihat tidur Reygan yang sudah pasti tidak nyaman. Saat ia hendak membenarkan posisi tidur Reygan, rasa gengsi dalam dirinya kembali menyeruak, membuatnya mengurungkan niatnya.

"Gue ngapain sih?!" Vanya berbalik menuju dapur, dan segera membuat roti panggang. Sarapan pagi yang simple baginya.

Segelas susu serta roti panggang dengan selai cokelat menjadi sarapan pagi seorang Vanya Lia Praditha. Ditengah menikmati sarapannya, ia terganggu dengan kehadiran Reygan yang tiba-tiba duduk di hadapannya. Sepertinya pria itu sudah cuci muka tanpa mengganti baju.

"Bisa tolong buatkan saya kopi?" Pinta Reygan lembut.

Vanya heran, kenapa amarah Reygan cepat berubah seperti ini? Ia pikir Reygan akan seperti laki-laki yang lainnya. Setelah bertengkar hebat seperti semalam, Reygan akan mendiaminya. Ternyata tidak.

Vanya muak, kapan laki-laki itu akan berhenti berjuang?!

"Gak! Males. Bapak punya tangan dan kaki kan? Buat aja sendiri!" Tolaknya mentah-mentah. Ia mempercepat sarapannya. Berhadapan dengan Reygan hanya membuat moodnya rusak pagi-pagi.

"Vanya saya—

Ucapan Reygan terpotong karena Vanya berlalu mengabaikannya. "Ck! Istri keras kepala!"

Siapa sih yang gak sakit hati diabaikan dan ditolak mentah-mentah seperti itu? Apa salahnya Vanya melaksanakan tugasnya sebagai istri walau hanya membuatkannya secangkir kopi.

Tiga Minggu pernikahan ini berlangsung, Vanya benar-benar menganggapnya orang asing di kehidupan Vanya. Mereka satu atap, tapi keduanya hidup sendiri-sendiri.

Seperti saat ini, Vanya hanya membuat sarapan sendiri, tanpa memedulikan Reygan.

"Biarkan saya yang terus memperjuangkan pernikahan ini, Vanya."

***

TBC

29, Agustus 2020.
Revisi : 29 Juli 2021

Istri Dosen [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang