5. TEMU TANPA JANJI

675 76 2
                                    

Siang ini aku sudah pulang dari asrama dan giat melakukan aktivitas mencuci pakaian yang belum sempat tercuci kemarin. Biasanya aku mencuci pakaian bersama Nuri di WC pondok, tetapi siang ini berbeda. Aku akan menemani Nuri untuk menghadiri acara resepsi pernikahan sahabat masa kecilnya.

Aku memilih baju dibantu Mama. Mama bilang tunik biru langit cocok untuk dipadukan dengan sarung hitam corak dan jilbab hitam. Aku memakai sarung itu sesuai kesepakatan dengan teman seasrama agar kami seragam. Setelah mencium punggung tangan Mama, ada pesan seperti biasa saat aku hendak bepergian.

"Jaga diri baik-baik, banyak dzikir, solawat, istigfar. Mama doakan kalian selamat sampai tujuan."

Aku tertawa kecil, mengangguk. Mama memang the best! Selalu mengingatkan bahwa penyakit 'ain itu nyata adanya dan untuk mencegah itu maka kita harus memperbanyak berdoa. Mama juga menyarankan supaya aku tidak pernah meninggalkan zikir pagi dan petang serta mengingatkan agar selalu berdoa ketika bercermin. Ya, penyakit 'ain tidak hanya bersumber dari orang lain melainkan bisa saja dari diri kita sendiri.

"Hati-hati, ya!" pesan Mama untuk ke sekian kalinya saat aku sudah keluar dan berkumpul dengan teman-teman.

Kami berjalan kaki untuk sampai ke acara resepsi pernikahan temannya Nuri. Jaraknya juga dekat sehingga tak perlu repot naik ojek apalagi bus. Tadi sebelum berangkat kami meminta izin pada Ustazah Ida dan langsung diizinkan sembari menitip kado dan doa restu sebab ustazah juga mengenal sahabatnya Nuri itu.

"Sinta dan Hamza."

Aku iseng membaca nama yang terpajang di janur kuning sebelum memasuki jalan menuju rumah pemilik hajat. Melihat namanya seperti tak asing di telingaku tapi aku tak ingat kapan pernah mendengar nama itu.

Sesampainya di acara, kami langsung bergegas mengantri untuk menyalami mempelai pengantin beserta orang tuanya untuk memberikan doa restu serta kado yang dibungkus sedemikian unik. Ketika turun dari panggung pelaminan, kami mengantri makanan dan saat itu tatapanku tak sengaja bertemu dengan sepasang mata yang menatapku marah. Aku tidak tahu apa masalah orang itu. Mungkin aku kenal dia atau dia yang kenal aku.

Setelah mengambil makan, aku izin ke warung terdekat untuk membeli tisu basah. Nuri juga menitip minyak telon entah untuk apa. Tanpa kusadari lebih awal, cowok yang memandangku tadi juga beranjak dari tempat duduknya. Dia Kak Iyan dan hampir menarik tanganku saat kami sudah berjalan di luar area acara resepsi. Aku cepat menjauh darinya sebab takut.

"Lo punya utang sama gue, sekarang bayar!" tagihnya dengan muka tengil. Dia sudah bagus memakai setelan batik tetapi sifatnya masih saja belum bagus.

"Berapa, sih?"

"Ikut gue ke sana sekarang , gue harus ngenalin elo ke Sinta! Gue bilang juga apa, lo tuh bandel dibilangin!" bentaknya. Dia malah marah-marah padaku seperti aku ini melakukan kesalahan besar yang amat merugikannya.

"Apa manfaatnya berbohong sih, Kak? Udah ya aku mau ke sana!"

"Ayo, La!" Dia hendak menarik tanganku tapi aku memundurkan tubuh dan menyembunyikan kedua tangan di belakang. Aku agak mengangkat kepala untuk menghadapinya.

"Emang aku cewek apaan!" Emosiku langsung tak tertahan.

Kak Iyan menggaruk tekuknya seperti orang frustrasi. Ia menarik sedikit kain jilbabku untuk memohon agar aku mau berjalan bersama dengannya ke pelaminan pengantin demi membohongi Kak Sinta. Sekarang aku ingat kapan pernah mendengar nama Kak Sinta.

"Laila, tolongin Kakak sekali ini aja ya, mau ya?" Kak Iyan sok melembutkan nada bicaranya.

"Aku gak mau ya, Kak."

"Loh, Laila?"

Aku tersentak karena Amel ada di acara itu. Yang lebih mengagetkan, ia memergoki aku berduaan dengan Kak Iyan dengan posisi cowok itu memegang jilbabku. Skakmat sudah. Sial kembali menghampiriku hari ini.

BERAWAL KARENA TYPO (PART MASIH LENGKAP)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang