3. HAL LANGKA KAH?

853 83 1
                                    

Aku berseluncur di media sosial setelah tahu orangtuaku sedang pergi entah kemana. Tiba-tiba sebuah notif pesan dari akun yang tampak masih baru bernama 'Adiyana' muncul. Ada foto yang dikirim dan di sana terlihat diriku saat tak sengaja memeluk Kak Iyan waktu itu. Jelas sekali tapi wajahku tidak terlihat. Aku terus memaksa Kak Iyan agar menghapus foto tersebut tetapi ia malah semakin mengelak bahkan mengejek. Sampai akhirnya akunnya kublokir lagi. Lagi pula untuk apa ada tombol blokir kalau bukan demi kenyamanan pengguna?

Meski demikian, aku masih sangat gelisah memikirkan foto barusan. Bagaimana jika di awal MPLS aku di-bully habis-habisan oleh para fans Kak Iyan? Secara kan dia tampan dan tokoh figuran juga di sekolah. Aku geram. Ingin berteriak untuk mengeluarkan segala unek-unek dalam hati tetapi tak juga tuntas. Aku mengacak jilbab sehingga sekarang penampilanku sudah terbilang acak-acakan.

"Ehkem!"

Aku menoleh. Kaget. Jujur saat mendengarnya imajinasi ini langsung pergi ke depan gerbang sekolah.

"Om Rusda! Kenapa Om tadi gak jemput aku sih? Aku nungguin loh, jahat banget jadi orang!" teriakku marah. Melihat wajah Om Rusda membuatku ingat Kak Iyan lagi dan ingat kejadian memalukan itu lagi.

"Kamu kan gak nelepon," jawabnya santai. Ia berjalan menuju dapur yang memang sudah jadi kebiasaannya untuk mencari sesuatu yang bisa dimakan.

"Kalo dateng ke rumah aku cuma nyari makan, kucing liar juga bisa!" sindirku.

Benar saja, Om Rusda sudah kembali dengan membawa setoples keripik pisang. Dia lalu duduk di sampingku dengan wajah tanpa merasa berdosa.

"Tadi lo pulang dianter siapa emang?" Dia mulai mengunyah dengan tenang.

"Dianter gendruwo."

"Hebat banget bisa pulang sama gendruwo." Om Rusda mengangguk-anggukan kepala seolah percaya.

Dia memang menyebalkan hampir sebelas-duabelas dibanding dengan Kak Iyan. Lalu, aku mencoba melihat responnya jika sedikit kukelabuhi. Aku menatapnya ragu-ragu agar dia bertanya mengapa aku bersikap aneh. Benar saja, dia sungguhan bertanya.

"Sebenernya aku pulang dianter pacar, Om. Hm, jangan kasih tahu orangtua aku ya, Om?" pintaku coba mengujinya.

Dia menatapku dengan raut berbeda. Toples keripiknya segera diletakkan di meja. "Sejak kapan keponakan gue kenal cowok?" Punggung tangannya ia tempelkan tiba-tiba di dahiku seolah berkesan kalau aku sudah melakukan hal yang tidak normal.

_TYPO_

Sore itu aku kembali ke asrama. Sudah cukup rasanya kehidupanku di rumah diselimuti masalah yang membuat overthinking. Nuri langsung memeluk tubuhku sangat erat seolah sudah satu tahun tak bertemu. Kebiasaan. Namun, aku juga membalas pelukannya dengan begitu senang.

Sejak lama aku, Nuri, Saodah, dan Halima belajar bersama di pondok pesantren ini dan tinggal bersama di asrama yang penuh kenangan. Usia kami hanya terpaut satu tahunan dan aku menjadi perempuan paling muda di antara ketiganya. Mereka hanya fokus menimba ilmu di pesantren ini sehabis lulus SMP. Katanya, mereka akan ikut program paket C saja untuk mendapatkan ijazah. Mulanya aku ingin melakukan hal yang sama, tetapi aku tak bisa menolak keinginan Mama supaya aku bersekolah di SMA pilihannya.

"Tadi kang Ahmad dari sini loh!" seru Nuri. Aku mengangguk sebab sudah tidak heran cowok itu mengunjungi kakaknya. "Dia tadi nanyain kamu ke aku!" Nuri langsung terlihat serius. Kalau soal Kang Ahmad Nuri selalu paling heboh.

BERAWAL KARENA TYPO (PART MASIH LENGKAP)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang