Sungguh bukan suatu keberuntungan bahwa aku lulus dari sekolah menengah pertama sebagai angkatan yang dicap 'Lulusan Corona' yakni lulus tanpa ujian, tanpa acara perpisahan meriah, dan tanpa berpelukan haru dengan semua guru. Rasanya bagai diusir begitu saja dari sekolah dengan jaminan dapat ijazah. Itu semua karena pandemi Covid yang melanda Indonesia. Rencananya setelah lulus aku akan melanjutkan ke sekolah menengah atas yang jaraknya cukup jauh dari rumahku sehingga perlu kendaraan untuk menempuhnya.
Semasa SMP aku terus belajar mengendarai motor sendiri. Namun, sampai saat ini aku belum berani mengendarai motor sendirian. Harus selalu ada yang mendampingi baik itu Papa atau Om Rusda—adiknya Mama.
Saat itu di suasana kamar yang dingin oleh kipas angin, aku menuliskan apa-apa saja yang harus dicapai saat nanti mulai sekolah baru. Aku mencatat semua keinginan di buku diari yang ke-7. Sehobi itu aku curhat dalam buku.
Kamu mau jadi perempuan seperti apa?
1. Salihah
2. Sehat jasmani dan rohani
3. Nggak malas
4. Pinter masak
5. Masuk peringkat 3 besar di sekolahSetelah menulis itu aku ingat bahwa sejak sekolah dasar aku tak pernah mendapatkan rangking tiga besar. Makanya ingin sekali merasakan bagaimana kalau aku belajar lebih giat lagi. Konon kan katanya usaha tidak pernah mengkhianati hasil. Sembari duduk di bangku belajar, aku juga hendak mengenang perpisahan dengan menulis kata-kata betapa sedihnya lulus di masa pandemi Covid. Kata-kata sedih kuposting di media sosial yang tak berselang lama banyak dari teman-teman menanggapi sedih. Berbeda dengan satu akun bernama 'Adiyana' yang entah sejak kapan akun itu berteman dengan akunku.
Akun Adiyana memberi tanggapan ngakak di status yang seharusnya banjir air mata. Rasa kesal membuat jariku nekat menyebutnya di kolom komentar. Hal memalukan kian terjadi karena orang itu tak kunjung menampakkan diri di kolom komentar. Marah bercampur malu semakin membuatku nekat memutuskan untuk melabrak dia lewat jalur pribadi.
[Aw]
Tulisanku tak sengaja terkirim sebelum tulisannya lengkap. Niatnya aku akan menulis kata 'awas' tetapi karena ceroboh, baru menulis kata awalnya saja malah sudah terkirim. Mau dihapus tidak bisa, maka aku kembali menulis dengan teliti meskipun emosi sudah hampir tak berhenti.
[Aw kenapa? Ada yang sakit?]
Jauh di luar prediksi jika dia akan membalas pesanku secepat itu. Jantung ini berdebar sangat kencang karena malu dan mendadak takut.
[Berani-beraninya ya kamu nanggapi ngakak di statusku! Gak syk y blokir
aja, mudah kan?]Tulisan jariku akhirnya selesai dan kurasa aku menulis semua dengan benar.
[Syk? Maksudnya sayang? Apaan woi kalo ngetik yang bener dong dasar bocah!]
Aku membaca balasan pesan darinya dengan heran karena tiba-tiba dia yang tampak marah, padahal kan dia yang salah. Untuk memastikan asal-usul orang tersebut maka kulihat foto profilnya. Ya Tuhan, aku mendadak jantungan saat mengetahui kalau dia adalah salah satu siswa di calon sekolah baruku. Pikiranku langsung berkelana mulai dari takut di-bully, disiksa saat MPLS, dan hal-hal kejam lainnya. Untuk menghindari itu maka pesannya segera kubalas dengan sopan.
[Maaf ya, Kak, barusan dibalesin temen.]
[Emang kamu siapa dan tinggal dimana? Ketemu aja yuk kita tinju!]
[Maaf, Kak, beneran dibalesin temen. Aku sebagai temennya mewakili permintaan maaf dari dia nih.]
Aku mulai cemas kalau orang ber-akun Adiyana itu benar-benar mengenalku nantinya. Namun, pikiran buruk itu segera kubuang jauh-jauh sebab di media sosial manapun tidak terpasang fotoku yang menjadikan orang itu tak akan mudah mengenalku. Nama akun medsos-ku saja 'El La' sehingga ia tak akan tahu nama asliku siapa.
KAMU SEDANG MEMBACA
BERAWAL KARENA TYPO (PART MASIH LENGKAP)
Dla nastolatkówJika kisah cinta orang lain berawal dari pandangan pertama, maka berbeda dengan Laila yang mengawali kisah cinta lewat ketikan typo di Facebook. Siapa sangka orang yang ia maki lewat jejaring internet itu adalah kakak kelasnya yang diidolakan banyak...