14. NEW NORMAL

559 70 5
                                    

Semester satu sekolah full melalui daring, tibalah masa pengumuman baru diberitahukan melalui grup kelas. Pasalnya, sekolah tak akan menjadi bangunan tua yang kosong lagi. Sekolah akan kembali dibuka dan siswa-siswi akan kembali masuk dengan suatu istilah baru yaitu 'sekolah sesi' alias akan dibagi kelompok setiap dua minggu sekali sehingga para murid hanya akan bersekolah dua minggu di sekolah dan dua minggu di rumah sesuai jadwal sesi.

Bagaimanapun nasib sekolahku sekarang, harapannya tetaplah sama. Aku ingin kebagian sesi sekolah tanpa ada Kak Iyan atau Kak Erna. Aku merasa terancam setiap mendengar nama dari kedua orang itu.

Hari pertama sekolah membuatku sangat gugup. Untuk pertama kalinya aku memakai seragam lengkap dan berangkat ke sekolah. Sepertinya hari Senin kali ini akan jadi pengalaman paling mendebarkan sebab selain pertama kalinya aku bersekolah lagi, aku juga mulai mengendarai motor sendirian.

Kecemasanku berkurang sebab Yuni juga melakukan hal yang sama. Hari itu aku dan Yuni terus bercerita mengenai kesan pertama kali membawa motor sendiri. Kami bersemangat menceritakan meski bagi beberapa orang mungkin menganggap itu adalah hal biasa.

"La, Kak Iyan tuh!" seru Yuni sembari mencubit lenganku.

Sontak saja mataku membulat melihat cowok itu menuju lapangan juga. Aku mengamati sosok Kak Iyan yang memakai pakaian putih abu, dia terlihat keren dan lucu sebab untuk pertama kalinya aku melihat dia memakai seragam sekolah. Tanpa sadar aku sudah tersenyum gemas.

"Woi, zina mata!" sentak Yuni.

Kami tertawa dan aku paham betul makna dari tatapan mata Yuni setelah mencidukku barusan. Dia pasti akan mengira bahwa aku jatuh cinta.

Upacara hari pertama berjalan lancar dengan amanat pembina menyuruh kami untuk selalu menerapkan protokol kesehatan mulai dari memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak supaya tidak berkerumun. Aku tidak menemukan Kak Erna sepanjang mata memandang. Jadi, aku merasa lega sebab harapanku tak semuanya musnah.

Sekarang, aku dan Yuni sudah duduk di bangku kelas sembari menunggu jam pelajaran pertama.

"Assalamu'alaikum!"

Aku menatap ke depan dengan agak cengok sebab mulanya fokus pada ponsel. Kak Iyan memang selalu ada-ada saja. Sedang apa dia di kelasku pagi ini?

"Wa'alaikumsalam." Aku kembali menunduk menatap layar ponsel setelah tahu siapa cowok yang berdiri di depan mejaku.

"Ekhem!" Yuni memulai aksinya. Dia menyenggol lenganku beberapa kali.

"La, kamu punya pensil tiga?" tanya Kak Iyan.

Aku berpikir sejenak lalu mengangguk.

"Aku boleh pinjem?"

Aku menatap Kak Iyan sekali lagi, dengan penuh pertanyaan dalam kepala. Apakah di kelasnya tidak ada yang mau meminjamkan pensil pada cowok itu? Ataukah Kak Iyan sengaja datang untuk modus? Apakah aku tidak salah dengar kalau dia bicara menggunakan 'aku-kamu'? Dia benar-benar Kak Adiyana dan bukan Kang Ungkit lagi.

"Boleh. Sebentar, Kak." Aku mencari pensil di tas.

"Tiga ya?"

"Hah, terus aku gimana? Kak Iyan mending beli aja di koperasi kalo butuh banyak, ngapain minjem!"

"Aduh, La, ini butuhnya pas jam pertama doang kok. Lagian aku gak bawa uang, hm, atau minjem uang aja boleh gak?"

"Hah?" Bukan aku yang merespon kali ini, tapi Yuni. Tingkah Kak Iyan tak hanya membuatku heran, tapi Yuni juga ikut heran.

"Sebentar doang, nanti beres pelajaran pertama aku balikin ke sini!"

"Jabatan aja wakil OSIS, butuh pensil malakin adek kelas!" sindir Yuni.

BERAWAL KARENA TYPO (PART MASIH LENGKAP)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang