7. TRAGEDI

618 69 2
                                    

Hari Minggu aku dan teman-teman asrama hanya mengobrol ria. Mulai dari membahas sejarah dunia kemudian merambat kepada keunikan serta pesona kang santri. Biasanya kami sibuk membersihkan asrama kalau hari Minggu tetapi karena kemarin sudah dibersihkan maka asrama sudah lumayan kinclong dan rapi.

"Sekolahmu gimana, La? Aman?" Nuri bertanya demikian setelah obrolan kami buntu.

"Eh iya cerita dong, La. Soal Kak Iyan itu ceritain lagi, kita belum denger tau!" Saodah ikut-ikutan.

Halima malah beranjak. Dia mengisyaratkan kami untuk diam sembari menunjukkan layar ponselnya yang tertera nama ustazah. Dia ditelepon ustazah. Bersama dengan itu Nuri juga beranjak karena seseorang meneleponnya. Saodah sendiri setia dengan camilan di tangan.
Aku menunduk ketika ponselku juga berbunyi. Saodah langsung menyipitkan mata ketika memandangku.

"Ayo-ayo semuanya angkat telepon yo!"

Aku tertawa melihat wajah jengkelnya. Tapi aku tak berniat mengangkat telepon yang bersumber dari Kang Ungkit. Bisa-bisa hari Mingguku berantakan.

"Kok gak diangkat, La?"

"Nggak aja."

"Angkat eh siapa tahu penting!" saran Saodah.

Aku menuruti perkataannya dan setelah menjawab salam dari Kak Iyan, dia hanya bertanya 'lagi apa' tanpa memberi obrolan penting apapun. Kan, cowok itu hanya kesepian.

"Kukira ada penting!" sindirku.

"Emangnya kalo ngobrol sama lo harus ada kepentingan doang gitu? Jual mahal amat jadi cewek!"

"Gak jelas!"

"Ya iyalah gak jelas kan belum ada hubungan, eh di rumah lo ada siapa?" tanya Kak Iyan.

"Ada orang tua aku lah," jawabku lebih mengedepankan hal pentingnya saja.

"Hm, gue main ke sana ya?"

"Ngapain, jangan!" cegahku.

"Kenapa?"

"Ya jangan lah pake nanya!"

Terdengar suara tawa dari seberang sana yang begitu mendengarnya aku langsung melafalkan istigfar. Untuk tidak membuat hati ini semakin benci maka teleponnya kuakhiri dengan pamit salam saja. Saodah yang menatapku terlihat bingung karena perubahan emosi ketika aku mengangkat telepon.

"Apa katanya, La?" Saodah ternyata penasaran juga.

"Orang gak jelas, udah bener gak usah diangkat kalo nelepon."

"Jangan gitu nanti jatuh cinta loh!"

"Naudzubillah, Ya Allah, jangan sampai!"

Aku beranjak memilih pulang dulu untuk mengambil buku dan masih ada beberapa tugas yang belum selesai di rumah. Jarak rumah dan pesantren yang dekat membuatku selalu pulang pergi sesuka hati. Namun yang penting tidak pergi saat sedang mengaji saja.

"Minjem novel satu, La!"

"Aku juga!"

Hanya acungan jempol yang kujadikan jawaban. Aku berjalan sembari sesekali melihat ke dalam ponsel sehingga tak banyak melihat sekitar. Pandanganku menatap heran ke arah Om Rusda yang berdiri memainkan ponsel di halaman rumahku. Dia memakai jaket hitam dengan selempang cowok menempel di tubuhnya.

BERAWAL KARENA TYPO (PART MASIH LENGKAP)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang