2. TEMAN POSESIF

997 94 2
                                    

Satu minggu setelah pendaftaran, tidak ada panggilan untuk datang ke sekolah dan tidak ada acara penting apapun di luar sana. Aku menghabiskan waktu hanya di pondok pesantren bersama teman-teman dan sibuk setor talaran. Pesantrenku memang tidak mewah, hanya ada sekitar enam puluh santriwati dari daerah terdekat. Pimpinannya yaitu Ustaz Farid serta istrinya yaitu Ustazah Ida. Meski sederhana, setidaknya di sini aku mendapat banyak ilmu agama sebagaimana yang diinginkan Papa.

Bunyi ponsel karena terdapat panggilan masuk membuat fokusku pada menghafal terpecah. Ya, di pesantren ini ponsel tidak dilarang selama itu tidak digunakan saat jadwal mengaji tiba. Nomor yang menghubungi ponselku tidak ada di daftar kontak, jadi segera kuangkat.

"Halo?" ucapnya dari sebrang sana.

"Iya, halo," jawabku agak heran.

"Hari besok pukul delapan semuanya ditunggu di sekolah, ada pengumuman untuk kegiatan MPLS."

Sambungan telepon dimatikan sepihak dan siapa lagi penelepon itu kalau bukan Kak Iyan. Aku bengong atas informasi yang kurang jelas itu. Segera aku membuka sebuah aplikasi chat dan sempat membaca perdebatanku dengan kak Iyan beberapa minggu lalu. Sejenak aku tertawa sendiri dan merasa keterlaluan.

[Assalamualaikum, Kak, izin bertanya lagi boleh?]

[Waalaikumsalam.]

[Boleh kan, Kak? Ini mengenai informasi tadi, saya masih bingung, hehe.]

[Sy dhbri tw!]

Balasannya sudah seperti anak TK belajar main HP. Aku berusaha memahami tapi sembari agak sakit mata.

[Maaf, Kak, di sini saya mau bertanya bukan mau ribut.]

[Ydh mnn Wa?]

[Ngetiknya diperbaiki dong, Kak, astagfirullah! Belum bisa ngetik kah?]

Aku tidak mengerti, berani sekali aku menegur kakak kelas sekaligus wakil ketua OSIS itu. Namun, aku benar-benar jengkel dibuatnya.

[Dulu yang pertama kali ngchat ngetiknya typo siapa? Kamu lho. Yang mau marah tapi nulisnya malah 'aw' doang siapa?]

[Ih kok gitu! Dasar tukang ungkit masa lalu!]

Pesan itu adalah pesan terakhir yang kukirim karena setelahnya aku memblokir akun Kak Iyan. Aku masih malu mengingat kejadian bodoh nan konyol itu dan Kak Iyan secara gamblang menjelaskan kembali. Soal informasi untuk besok akan kutanyakan pada kakak-kakak yang lebih baik hati dan lebih tampan daripadanya. Kalau bisa pun akan kutanyakan langsung pada ketua OSIS yang terkenal karena ketampanannya itu.

Belum sampai lima menit aku memblokir akun Kak Iyan, panggilan telepon masuk disertai nama 'Kang Ungkit' tertera di layar ponsel. Aku memberi nama itu tiga menit lalu. Sudah tiga panggilan kubiarkan tetapi sangat diluar dugaan, panggilan dari kak Iyan tembus sampai tujuh kali. Merasa tak enak dan tak sopan, di panggilan ke delapannya kuangkat saja.

"Ekhem!"

Aku diam menunggu dia bicara lebih dulu. Memangnya dia pikir berdeham bisa membuatku mengerti maksudnya?

"Neng Laila?" Nada bicaranya mendadak layu.

"Apa?"

"Heh, dingin banget lo, Typo!" Kan! Ngegas lagi.

"Mau apa?" tanyaku masih dengan nada jengkel.

"Mau ngasih informasi tadi, emangnya gak mau tahu? Kalo gak mau ya sudah!" Kak Iyan juga masih mengesalkan.

"Oke!" jawabku sebelum mematikan sambungan teleponnya sepihak.

Beberapa detik kupandangi layar ponsel, berharap Kak Iyan akan menelepon lagi untuk meminta maaf. Meski terdengar aneh tetapi dugaanku tepat. Kak Iyan menelepon lagi.

BERAWAL KARENA TYPO (PART MASIH LENGKAP)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang