Chapter 11

1.3K 302 78
                                    

Masuk wilayah belasan. Mulai countdown ya gais 🌚

 Mulai countdown ya gais 🌚

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

-

Untuk seseorang berstatus asing, Emilia berhasil membuat Jungkook mengambil tindakan yang bahkan jarang sekali dia lakukan untuk kenalannya. Ditambah hari ini, perempuan ini sudah menginjakkan kaki dua kali ke dalam kediamannya. Aneh, tapi sesuatu dalam diri Jungkook tidak merasa keberatan.

Meski awalnya Jimin menentang, pada akhirnya dia ingin membantu memapah Emilia dan membaringkannya di kamar Jungkook. Malahan pria itu kelihatan repot sendiri, sibuk mencari kain dan air hangat untuk mengompres, bahkan tanpa disuruh bolak-balik memeriksa apakah kompresannya butuh diganti.

"Sudah sejauh apa hubungan kalian?" tanya Jimin begitu Jungkook keluar dari kamar mandi tanpa kaus.

"Tidak ada hubungan apa-apa."

"Omong kosong."

Jungkook meluruskan punggung, menatap Jimin sembari mengernyit. "Memang begitu kenyataannya."

"Aku saja butuh waktu mengenalmu beberapa bulan untuk kauajak ke sini," protes Jimin. Cara Jimin memandanginya sedikit menggelitik, membuat Jungkook mempertimbangkan pilihan untuk beranjak dan menonjok batang hidung pria itu. Memang tidak ada yang perlu diceritakan.

"Aku mengajakmu karena kau mau ikut bergabung menjatuhkan si brengsek itu."

"Lalu Emilia? Memangnya dia terlibat?"

"Soal itu ...."

Seharusnya dia langsung menjawab, tapi nyatanya kepalanya tidak menyimpan jawaban apa pun. Keputusannya membawa Emilia ke sini tak lebih dari sebuah tindakan impulsif. Begitu melihat sang puan pingsan, satu-satunya yang terpikir hanyalah membawanya keluar.

Sekarang Jungkook tidak tahu apa kebetulan itu harus dia syukuri atau membuatnya mempertanyakan caranya berpikir.

"Kami sempat tidur bersama." Sebisa mungkin Jungkook menjawab santai. "Hanya itu."

"Oh?" Jimin kelihatan ragu, tapi setelahnya tak banyak berkomentar. Sekali lagi dia mengganti kompresan Emilia sebelum menunjuk pintu luar. "Sebaiknya kita bicara di luar. Biarkan dia tidur."

Lebih dulu dia ke lemari untuk mengambil kaus, memandangi Emilia yang tertidur sejenak sebelum pergi. Perempuan itu sempat bangun sebelumnya, tapi karena masih pucat, Jimin memaksanya untuk tidur dulu, yang langsung dituruti. Bangun dan pergi kelihatannya membutuhkan tenaga lebih. Lagi pula Jungkook juga tidak keberatan.

Entah temannya itu yang terlalu baik atau memang Emilia yang begitu mudah disukai. Karena nyatanya, Jungkook merasakan hal serupa di awal pertemuan mereka dan membuatnya membawa perempuan itu pulang.

Dia cantik, cukup berpengalaman dalam urusan ranjang. Wajar kalau tertarik karena itu, Jungkook mengingatkan diri. Jimin tak perlu bertanya apalagi mengancam untuk mengingatkannya bahwa perasaan-perasaan seperti itu bukan hal yang perlu dia urusi. Setelah ini, belum tentu dia dan Emilia kembali bertemu. Diberikan kesempatan untuk kembali mendapatkan kenikmatan semalam bukan hal buruk, tapi dia cukup sadar bahwa semua itu tak akan pernah lebih.

Tidak perlu dipusingkan, Jungkook. Tidak perlu.

Sembari memakai kaus, Jungkook keluar dari kamar, menghampiri Jimin yang sudah bersandar di sofa dan menengadah ke langit-langit rumah. Pria itu tampaknya tengah memikirkan sesuatu, entah apa. Hanya saja sebelum Jungkook sempat membuyarkan lamunan atau bertanya, dia sudah menoleh.

"Jadi bagaimana? Rencananya jadi malam ini?" tanyanya. "Kita tidak jadi bertanya di bagian kearsipan. Replika lencananya kan jadi sia-sia."

"Itu bisa nanti. Tapi mungkin rencananya harus ditunda dulu." Jungkook menempatkan diri di sofa yang berseberangan. "Masih ada informasi yang kurang. Kita harus memastikan jika surat-surat itu memang ada pada sekretarisnya."

"Sebenarnya aku ragu kalau sekretarisnya terlibat sih," komentar Jimin. "Dari pengamatanku, dia hanya mengurus hal-hal teknis seperti sekretaris pada umumnya. Sayang sekali kalau dia mau bekerja jika tahu kelakuan tuannya begitu."

Jungkook mendengkus. "Tidak masalah kalau ada uang, kan? Wanita kebanyakan begitu."

Meski bukan fakta baru, mengucapkan hal itu sendiri seringkali membuatnya sakit hati. Tanpa sadar tangan di pangkuannya mengepal kuat, membuat amarahnya berganda. Wanita dan Jung Kwanhyung merupakan perpaduan terbaik untuk membuat Jungkook murka.

Namun kalau dipikir ulang, sebenarnya tanggapan Jimin bukannya salah. Belakangan ini dia sering mengunjungi panti dan bertemu dengan Kim Juyeon. Dari pengamatannya, wanita itu tampaknya hidup sulit—sesuatu yang rasanya terlalu 'baik' untuk orang yang dia kira membantu calon gubernur menyogok sana-sini.

"Jika bukan pada sekretarisnya, menurutnya ada pada siapa?" tanya Jungkook. Sejenak ditepisnya kemarahan dalam kepala. Dia harus fokus. "Orang lain?"

Jimin bergumam sejenak, meluruskan punggung dan menyerongkan tubuh, sebelah tangannya berlabuh pada lengan sofa. "Asumsikan saja sekretarisnya sepenuhnya tidak terlibat dalam bisnis kotor itu. Bisa jadi surat bukti kesepakatannya dan pejabat lainnya disimpan pria tua itu sendiri, atau dia percayakan pada orang lain di luar lingkup kerjanya."

"Jadi menurutmu lebih baik langsung membobol rumah bos utama?" tembak Jungkook langsung.

"Untuk menghemat waktu, ya. Tapi untuk keselamatan kita berdua, tentu saja tidak." Jimin mengedikkan pundak singkat. "Semua tergantung pada prioritasmu."

Kalau ditanya begitu, sebenarnya Jungkook ingin sekali rencananya usai. Sudah bertahun-tahun dia menunggu semua ini. Susah payah mencari uang dan bertahan hidup, mengutuk nama yang sama dalam tidurnya, bergelut dengan ingatan masa lalu, semuanya dia lakukan untuk sampai pada titik ini. Dia tidak mau repot hanya untuk gagal.

"Kalau begitu kita mulai dari jaksa dulu saja," tukas Jungkook. "Jung Kwanhyung memang brengsek, tapi tidak bodoh. Terburu-buru hanya membuatnya semakin punya panggung untuk cari muka."

Senyum kecil terukir di wajah Jimin sementara dia memanggut setuju. "Kau semakin pintar, Kim Jungkook. Kok aku jadi bangga begini, ya?"

Jungkook langsung memutar mata. "Mati saja sana. Ucapanmu menggelikan."

Dia berdiri, berniat untuk mengambil laptopnya, tetapi belum mengambil satu langkah pun, suara lain terdengar dari seseorang yang jelas sekali tidak diundang untuk bergabung ke dalam percakapan.

"Yang kau maksud Jung Kwanhyung itu... calon gubernur sekarang, kan?"

Dan begitu Jungkook berbalik, Emilia sudah berdiri di depan pintu kamarnya, memberi tatapan yang sama sekali tak bisa dia pahami, sementara kepalanya hanya bisa memikirkan satu protokol yang selalu disiapkan demi keberlangsungan rencana.

Kalau kau masih mau hidup, seharusnya kau tidak muncul dan menyebut nama itu, Emilia Jung. []

Jadi... 🌚

Ride or Die (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang