"Al, bangun!" teriakku,
Kenapa dia tidak bangun-bangun? Aku memegangi dahinya, benar saja dia tidak bangun-bangun mungkin dia masih merasa tidak enak badan. Dahinya tidak sepanas tadi malam, tapi masih bisa dibilang dia masih panas. Lalu aku harus bagaimana? Setelah ini aku harus berangkat sekolah, tidak mungkin aku bolos.
Aku mencoba meraba jaket yang masih dikenakan oleh Alfa barangkali ada seseorang yang bisa aku hubungi untuk mengantarnya pulang. Aku mencarinya disaku-saku jaketnya, dan akhirnya aku menemukan apa yang aku cari. Aku menyalakan Hp-nya dan membuka kontak, untung saja tidak di password.
Aku men-scroll kontaknya sampai aku menemukan kontak dengan nama 'Mama', aku segera mencoba menelfon nomor mamanya tadi. Tutt... tutt... tutt..., "kenapa lama sekali mengangkat telfonnya?" gumamku, hingga bunyi suara-
"Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif, cobalah beberapa saat lagi. Tut. Tut. Tut."
Aku mulai panik, haduh... bagaimana ini? Bentar lagi udah telat ini! Tidak ada pilihan lain, tidak mungkin juga aku bolos gara-gara merawatnya disini. Lantas aku pergi ke dapur memasak bubur sebentar dan mengambil air beserta obat.
Setelah memasak bubur, aku menyiapkan minum dan obat di atas meja ruang tamu kemudian menuliskan pesan dikertas,
Saat kamu sudah bangun makan bubur ini dan jangan lupa minum obatnya! Maaf, tapi aku harus berangkat ke sekolah dahulu. Get Well Soon J !
- Raya –
Aku meletakkannya dibawah piring agar tidak terbang kemana-mana. Karena sudah telat maka aku harus segera berangkat sekarang juga, tapi saat sudah didepan pintu aku berhenti sejenak dan berbalik mennghampiri sofa yang Alfa tiduri.
Aku mengusap rambutnya dengan pelan, tidak tahu kenapa rasanya aku ingin melakukan ini kepadanya. Aku menatap wajahnya yang masih terlihat pucat dan mengusap pipinya, entah aku merasa sepertinya dia sedang ada masalah,
"Kalau ada apa-apa cerita," ucapku pelan yang masih sambil mengusap pipinya.
Aku takut dia akan berubah kalau dia akan terus menerus memendamnya, aku tidak ingin melihatnya menyalahkan dirinya sendiri karena masalah entah itu apapun, aku tidak ingin melihat dia terus menerus memakai topeng yang masih ia pakai selama ini. Itulah yang aku rasakan saat melihatnya seperti sekarang ini.
Kejadian hidupnya tidak boleh miris dengan kehidupanku dulu, karena aku tahu rasanya. Memendamnya sendiri dan menyalahkan diri sendiri.
Aku harus segera berangkat, aku tidak peduli jika harus telat yang penting harus masuk sekolah. Aku segera mengambil sepeda biru-ku dan mengayuhnya cepat-cepat.
* * * *
Alhasil telat yah... seperti ini, nasib... nasib... bersihin gudang tua. Lagian udah gak kepaikai ngapain harus dibersihin? Aku melihat ke arah belakangku, ada Asta yang sedang merapikan barang-barang yang berantakan. Masih untung dia mau kerja.
"Kenapa telat?" Tanya Asta,
"M-m... macet, ya... macet," jawabku sambil tergagap gagap, tidak ada sahutan dari Asta.
"Udah?" tanyanya lagi setelah diam beberapa menit,
"Ha? I-iya udah," jawabku.
Kami akhirnya menyelesaikan hukuman kami, aku dan Asta segera pergi ke ruang kelas kami. Diam. Tidak ada yang memulai pembicaraan, aku melihat punggung Asta dari belakang dan berpikir, terkadang dia terlalu baik padaku, aku tidak tahu kenapa sejak kami kelas sepuluh dia selalu ada saat aku terkadang butuh bantuan.
KAMU SEDANG MEMBACA
PHOSPHENES (RAYA'S SIDE)
Teen FictionHidup untuk akhir yang bahagia itu memang butuh perjuangan. Sebuah kebahagiaan hanya bisa diperjuangkan bukan dipaksakan. Hidup seperti sebuah puzzel yang menghilang sementara itu ternyata juga penting. -Raya- Menemukan bagian yang hilang itu, terny...