HUNTER DISTRICT | Who DID It?

175 24 10
                                    

Cerpen ini hasil kolaborasi karya dari crankie- Juwitazahar07 EtIris411H baihaqisr MiaNurmayanti Zaskia_putri percikasa 

💌💌💌

Aku gugup sekali ketika memasuki ruang ujian. Pasalnya, kedatanganku ini ditemani oleh tatapan merendahkan dan menghina dari peserta ujian—yang tak lain dan tak bukan, adalah teman sekelasku. Kupercepat langkah untuk segera sampai ke tempat yang sudah disediakan: Bangku yang tertata di pojok belakang kelas. Duduk dengan gelisah selama beberapa menit, tak lama kemudian bel berdering kencang bersamaan dengan langkah kaki pengawas ujian yang memasuki ruangan.

Soal sudah dibagikan. Usai mengisi kolom nama dengan hadiah yang sekiranya untuk merayakan kelahiran dari orang tuaku, Aksa Adhikari, aku pun mulai membaca apakah ada soal yang lebih mudah untuk dikerjakan terlebih dahulu. Lima menit berlalu dan belum ada satu pun soal yang terjawab. Bagaimana ini? Kenapa soalnya susah semua? Bagaimana kalau papa dan mama kecewa lagi padaku? Aku merinding mengingat saat di mana orang tuaku marah—menjadikanku semakin gugup.

Aku harus tenang. Kalau panik seperti ini, aku tidak akan mampu menjawab apa-apa. Kucoba menarik napas dalam-dalam dan itu berhasil mengurangi kegugupan yang dirasa. Tiba-tiba, aku teringat ketika dua semester yang lalu. Saat di mana nilaiku naik dan orang tuaku akhirnya merasa bangga. Itu adalah saat yang paling membahagiakan. Sekarang pun pasti bisa seperti waktu itu!

Namun, semakin mencoba fokus, netraku kian memberat. Mata pelajaran yang diujikan kali ini adalah salah satu dari yang paling kubenci: Fisika. Tangan kananku memutar-mutar bolpoin, mulutku merapal soal-soal, dan napasku mulai menggebu-gebu. Tiga soal berhasil dijawab dan sekarang giliran pertanyaan yang selanjutnya.

Hitunglah kecepatan sudut getaran dari gambar di bawah ini!

Pertanyaan yang sepele, tetapi sukses membuatku pusing, padahal sudah ada media gambar yang sepertinya berguna untuk memudahkan. Mencoba menggali ke dalam memori penyimpanan hafalan rumus di dalam otak, aku masih belum juga menemukan cara untuk menjawabnya. Seandainya saja ini pilihan ganda, mungkin aku masih memiliki kesempatan untuk bisa menjawab. Sayangnya bukan. Hari ini mendapat mata pelajaran tersulit, terdapat soal esainya pula! Seharusnya aku tidak bermalas-malasan dan belajar lebih giat lagi kemarin.

"Gini aja enggak bisa." Aku mengumpat ke diri sendiri sembari memukul kepalaku dengan lembut. Akhirnya, menyerah dengan keadaan, aku pun memejamkan mata.

Setelah beberapa saat, kubuka sepasang netra ini dengan perlahan untuk membiasakan penglihatanku dengan cahaya yang menerangi ruang ujian. Kuedarkan pandanganku mengelilingi sekitar, memindai tempat yang kini sedikit lebih gaduh daripada sebelumnya.

Pengawas ujian—yang terkenal paling galak di sekolahku—kini sedang asyik bercengkerama dengan pengawas ujian ruangan sebelah di depan kelas. Bisikan yang saling bersahutan dari orang-orang sekitar, tentu saja untuk menjalankan rutinitas mereka saat ujian: Saling bertukar jawaban selagi masih ada kesempatan. Cukup. Aku muak. Semua sama saja.

Mataku beralih menuju jam dinding di depan sana. Sial, waktu ujian akan berakhir sebentar lagi dan aku baru ingat jika masih banyak nomor yang belum kuketahui jawabannya.

Atensiku kembali tertuju pada kumpulan soal yang pasti akan membuat kepalaku kembali merasa pening. Tidak mampu menemukan ingatan apa pun, kualihkan pandanganku menuju kertas jawaban yang terletak di bawah kertas soal. Mataku membulat lebar ketika melihat kertas jawabanku telah terisi semua. Iya, semua nomor telah terisi. Tidak ada satu pun nomor yang kosong dari jawaban, bahkan untuk soal esai sekali pun.

HUNTER DISTRICTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang