Dari Mama Yang Kutunggu

173 27 21
                                    

Ini adalah percakapan terakhir kami, ketika aku dan mama yang amat kusayangi sedang duduk berdua di bawah langit bertaburkan gemintang.

"Mama akan pergi," ucapnya saat itu. "Dan mama tidak akan pulang lagi."

Aku memandang wanita berumur 26 tahun itu dengan wajah bingung. "Pergi ke mana?"

"Pergi jauh ke suatu tempat," jawabnya. "Karena mama sudah tak tahan tinggal dalam rumah ini."

"Kalau begitu aku ingin ikut dengan mama," balasku.

Mama menggelengkan kepalanya. "Tidak bisa," tolaknya. "Mama tak pernah mencintai papamu. Jadi tak ada alasan juga bagi mama untuk mencintai kamu."

Kulihat mama menatapku dalam-dalam, kemudian mengelus puncak kepalaku.

"Ar, kalau mama tidak ada, hiduplah dengan bahagia, ya." Ia melanjutkan. "Berjanjilah. Karena cuma itu permintaan mama."

Hiduplah dengan bahagia, tiga kata itu terus terngiang dalam benakku. Bahkan setelah papa dan mama bercerai, juga setelah aku tinggal dengan papa yang menikah lagi dan mempunyai dua adik baru, bayangan mama kala itu terus mengusik pikiranku.

Apakah ia akan marah jika aku tak memenuhi permintaannya? Sering aku bertanya begitu. Sebab pada akhirnya aku tak bahagia. Hidup tanpa mama tak pernah terasa menyenangkan bagi seorang anak berumur tujuh tahun yang begitu haus akan kasih sayang orang tua.

Aku tersisihkan, dalam keluarga baruku yang kata orang begitu harmonis. Mama tiri atau yang biasa kupanggil bibi tak pernah memperlakukanku sama seperti ia memperlakukan anak-anaknya. Kalau adik-adikku sekolah di tempat yang mahal, aku hanya sekolah di sekolah kecil dekat rumah. Kalau adik pertamaku dibelikan rok bagus dan adik terakhirku dihadiahi mainan canggih, aku hanya dapat sepatu bekas yang sudah sobek ujungnya.

Bibi tak pernah menganggapku sebagai anaknya. Aku benar-benar dibedakan, dan hal itu membuatku menganggap bahwa semua kebaikan hatinya hanyalah suatu tindakan penuh keterpaksaan. Ketika ia mendiamkanku yang sedang menangis, ia melakukannya bukan karena sayang, tapi karena tangisanku berisik dan mengganggu anak-anaknya. Kalau ia datang melihatku tampil di panggung pun, aku yakin itu hanya untuk memenuhi permintaan guru, bukan karena diriku.

Awalnya, aku tetap berusaha menerima setiap perlakuan bibi. Setiap kali ia membentakku karena aku membuat adikku marah. Setiap kali bibi memprovokasiku dengan mencium mereka berdua persis di hadapanku. Aku tetap sabar. Sabar menahan gejolak rasa iri dalam hatiku.

Namun hal itu tak bertahan lama. Suatu hari aku melihat adikku berkata begini di depan teman-temannya. "Aku hanya punya satu kakak. Yang satunya lagi bukan. Ia hanya menumpang di rumahku," ujarnya dengan santai. Mendengar itu, mulailah rasa benci yang selama ini kutahan-tahan naik ke permukaan, membuyarkan seluruh harapan untuk diterima dan hidup bahagia dalam keluarga harmonis ini.

Aku benci dengan keberadaanku, juga keluarga ini. Termasuk papa. Papa tahu dengan sangat jelas bahwa bibi mengucilkanku, namun ia tak pernah berbuat apa pun. Ia lebih mementingkan istri barunya daripada diriku, dan hal ini membuatnya seolah-olah lupa kalau aku juga merupakan anak kandungnya.

Papalah yang membuatku menjalankan hari-hari dengan penuh rasa takut. Ia tak segan-segan memukuliku kalau aku melakukan kesalahan sekecil apa pun, juga kalau dirinya sedang kesal karena pekerjaan. Ketika papa pulang dan memanggil namaku, keringat dingin akan langsung mengucur di sekujur tubuh, tanganku gemetaran, dan aku akan bersiap untuk menahan tangis kalau-kalau ia menyabet wajahku dengan ikat pinggang atau menghantamku dengan tongkat besi sampai tulangku patah.

Tak ada mimpi buruk yang lebih besar dari itu. Menjadi anak tak diinginkan dalam sebuah keluarga tanpa belas kasihan. Bertahun-tahun kejadian buruk berlalu dalam hidupku silih berganti, kemudian mengubah rasa benci itu menjadi kekosongan yang membuatku merasa putus asa.

Navy Blue ( Cerpen & Oneshoot )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang