04

28.4K 3.7K 615
                                    

Sky masih sibuk meneliti tumpukan berkas-berkas di meja ruang tamu rumah sepupunya. Mikail Tyaga atau yang biasa dipanggil Aga. Keningnya berkerut membuat pangkal alisnya hampir bertautan. Wajahnya menunjukkan ketidakpuasan akan suatu hal.

"Pak Langit menghubungi Anda,  Pak." Haris memberikan sebuah ponsel pada atasannya itu.

Sky mengambil ponsel dari tangan Haris kemudian pergi ke teras untuk mencari udara segar diantara detik-detik tenggelamnya sang surya.

"Aku akan menemuinya besok, Pa." Ia sudah tahu alasan kenapa Papa menghubunginya. "Aku masih membereskan urusan kantor lebih dulu—"

"Urus kebun teh itu dulu,  Sky! Mendapat lampu hijau dari pak Zain bukan perkara mudah!  Jangan sampai kamu menyia-nyiakan kesempatan ini!"

Sky berdecak lalu memutar malas bola matanya. Tidak mungkin ia mengatakan jika pertemuan pertamanya dengan pemilik toko roti itu kurang menguntungkan. Bisa-bisa, Papa akan menyuruh untuk mengemis kata maaf. Membayangkan saja sudah membuat Sky bergidik.

"Papa tenang saja,  biar aku yang urus semuanya disini. Papa kembali saja ke Jakarta dan tunggu kabar baik dariku."

"Pastikan semua lancar, Sky!"

"Iya, Pa." Sky mengangguk dan mendengarkan banyak petuah sebelum Papa menutup sambungan teleponnya.

Baru ia akan menyandarkan punggung di sofa,  pemilik rumah datang dengan tatapan tidak menyenangkan. Menatapi ruangan yang selalu dijaga dan kini jauh dari kata rapi.

"Nggak usah protes!" sergah Sky sebelum Aga membuka mulut,  melayangkan protes sebab ruang tamu rumahnya dibuat berantakan.

Pria berwajah datar dan tak terlalu suka bicara itu segera duduk di bagian sofa yang lain. "Kau punya kantor,  kan?  Kenapa membuat kotor rumah orang lain?"

"Para penjilat itu terlalu mengganggu konsentrasiku," jawab Sky tanpa mengalihkan pandangan dari berkas di tangannya.

"Apalagi yang kau pusingkan?" tanya Aga.

Sky menghela napas kemudian menceritakan apa yang  terjadi di kebun teh dan kantor yang tengah ia tangani.

"Harga dirimu akan jatuh kalau kau nggak bisa menangin kebun teh itu. Mereka akan meremehkanmu," cetus Aga menambah panas gemuruh di dada Sky. "Temui aja cewek itu."

"Tanpa kau kasih tahu, aku juga bakalan temuin dia!" sahut Sky kesal.

Aga hanya mengangkat Alis. "Rapikan semuanya sebelum kau pergi."

"Berisik!" umpat Sky.

"Kita akan pergi ke sana setelah mengantar orang tua Anda ke Bandara,  Pak."

"Kau sedang memerintahku?" selidik Sky, sinis.

"Apa kita akan pergi ke sana setelah mengantar orang tua Anda ke Bandara, Pak?" Haris meralat kalimatnya dan menegaskan nada tanyanya di akhir suara. Pria itu meringis lebar, dengan mengerjapkan mata agar Tuannya tidak marah.

"Pergi ke sana, wakili permintaan maafku!" tegas Sky.

"Mengemislah dengan elegan di depan wanita itu, daripada kau kehilangan harga diri di depan karyawan dan rivalmu," imbuh Aga.

"Bisa kau kasih contoh, 'ngemis elegan' itu kayak apa?" sindir Sky sambil menatap malas Aga.

"Kau bisa belajar bagaimana menakhlukkan wanita."

"Aku pria baik-baik, jangan membuat citraku buruk dengan mempermainkan wanita," tolak Sky.

"Menakhlukkan wanita bukan berarti mempermainkannya, Sky."

Sanskara Sky [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang