Chapter 14. Putih dan manis.

460 38 1
                                    

Hai, jangan lupa votment-nya

•••

|Semua orang bisa menemani, tapi tidak semuanya bisa memahami.|

-Edgar Emilio Grissam-

•••

{Happy Reading}

Waktu menunjukkan pukul delapan malam, tapi keempat remaja laki-laki itu masih sibuk nongkrong di warung kopi dekat rumah Cilla. Setelah selesai mengerjakan tugas, mereka memang tidak langsung pulang melainkan mampir dulu di warkop.

"Balik, yuk?! Gue bisa dimarahin nyokap kalau terlambat pulang," ajak Janu.

"Ciee anak mami," ledek Edgar sembari memakan sate usus yang tersedia di warkop tersebut.

"Ya, kan, gue emang anak mami gue. Yakali anak pak erte."

"Bentar dulu, Jan. Besok libur, jadi puas-puasin dulu," balas Gala.

Janu menghela nafas panjang, pasrah jika pulang terlambat mungkin cuma diceramahi karena tidak terlalu larut. Ia memang dibebaskan orang tuanya untuk kemana saja, asal ingat waktu. Dan jam sepuluh malam adalah batasannya untuk pulang.

Gala melihat Ezra yang asik dengan benda pipih digenggamnya dengan senyum yang merekah.

"Gitu banget yang punya pacar, gue yang nggak ada ayang diem dipojokkan aja, lah." berkat sindiran yang Gala berikan, Ezra langsung memasukkan benda pipih tersebut ke dalam kantong celananya.

"Ngomongnya nggak punya ayang, tapi tadi sama Cilla udah bilang calon ibu," balas Ezra.

"Omong-omong hubungan lo sama Cilla itu apa, Gal?" tanya Edgar. Ia kembali mengambil sate usus dan memakannya.

"Hubungan gue sama Cilla?"

"Iya, lah! Yakali hubungan kucing gue sama janda pujaan hatinya!" balas Edgar tidak santai.

"Masih teman, sih. Doain aja bisa lebih," jawab Gala.

Semua mengangguk mengiyakan.

"Cabut, yuk. Gue mau sleep call sama Nisya. Udah diteror dari tadi," ajak Ezra.

"Ya udah. Gue bayar dulu." Gala mengeluarkan lima lembar uang berwarna biru untuk membayar semua kopi dan makanan yang dimakan dengan teman-temannya.

"Ini kebanyakan, mas," tolak abang yang punya warkop.

"Nggak apa-apa, bang. Kembaliannya ambil aja."

"Ambil aja, bang. Dia duitnya banyak, jadi nggak akan kere karena nongkrong di warkop doang. Lagian kita juga berjam-jam disini, buat bayar itu aja kalau abangnya nggak enak," jelas Janu.

"Wah terimakasih banyak, mas."

Gala mengangguk dan tersenyum, kemudian ia berbalik badan berjalan kearah motornya terparkir. Setelahnya mereka melenggang pergi dari warkop tersebut untuk pulang ke rumah masing-masing.

°°°

Gala mematikan mesin motornya, ia membuka gerbang lalu mendorong motor sportnya ke dalam garasi, bersebelahan dengan motor butut kesayangan ayahnya yang sering sekali mogok 'astrea' nama yang sama dengan merk-nya.

"Heran banget sama papa. Kenapa masih nyimpen motor butut kayak gini coba? Kan bisa beli yang lebih bagus dikit. Minimal nggak gampang ngambek lah motornya," monolog Gala.

GalaCillaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang