Laras: Kehidupan Gue

118 34 47
                                    

Pagi itu mungkin adalah hari keberuntungan gue, bagaimana tidak? Gue baru bertemu dengan seorang pria yang bisa dibilang badboy tapi dia tampan. Pria itu berlarian di koridor dengan guru BK.

"Fajar Syahputra! Sini kamu!" teriak guru BK itu sambil berlarian mengejar Fajar yang terciduk merokok di belakang sekolah.

"Misi woi!" teriak Fajar kepada orang-orang disekitarnya.

Gue berjalan sambil membawa buku yang barusan gue pinjam dari perpustakaan. Saat itu gue sedang membersihkan kacamata gue yang tampak kotor lalu tak lama seorang pria menabrak gue hingga kami jatuh bersama. Agak canggung, kami bertatapan sebentar lalu guru BK segera menarik baju Fajar dengan kasar.

"Kena juga kamu, saya capek tau nggak! Cepat ikut saya." teriaknya kesal.

"Ck. Sabar kek bu, lihat nih saya baru nabrak siapa," jawabnya ketus.

Gue melihat kacamata bulat gue yang patah, tak segan-segan gue langsung berteriak kearah Fajar.

"Apa sih lo teriak-teriak? Lo kira ini kebun binatang," sahut Fajar kesal.

"Lo lihat nih kacamata gue, tanggung jawab nggak!" maki gue.

"Kacamata lo hamil?" ledek Fajar.

"Gue nggak mau tau lo harus tanggung jawab, atau nggak—" ucapan gue terpotong begitu menatap Reihan lewat tepat disamping gue.

"Atau nggak apa?" tanya Fajar.

"Lo berdua ngapain tiduran dilantai?" tanya Reihan menatap gue dan Fajar yang berada dilantai.

Gue langsung mendorong tubuh Fajar sekuat tenaga lalu gue memunguti buku-buku gue yang terjatuh.

"Jar, itu bu Rasya udah nungguin lo tuh." Reihan menatap Fajar datar.

"Iya iya, woi cewek aneh. Kacamata lo nanti gue ganti!" balasnya ketus kemudian pergi meninggalkan gue dan Reihan.

Reihan Adinata, dia itu tipe cowok idaman gue banget. Udah pintar, rajin, suka menolong, ketua OSIS, tajir, ganteng, peduli sama anak-anak, bisa masak lagi. Poin plus-plus deh buat Reihan.

"Lo nggak apa-apa?" tanya Reihan menatap gue intens.

"Ng-nggak kok," jawab gue gugup.

"Lo nggak masalah kan kalau nggak pakai kacamata?" tanya Reihan khawatir.

"Nggak kok, gue duluan ya." Gue langsung bergegas pergi meninggalkan Reihan, gue takut jantung gue lepas kendali.

Gue langsung masuk ke kelas gue sambil memegangi buku gue erat-erat, dari pojok kedua sahabat gue meneriaki gue.

"Laras!" teriak Camel melambaikan tangannya.

Gue tak menjawab panggilannya hanya pergi berjalan cepat menuju mereka berdua.

"Lo kenapa, Ras? Sakit?" tanya Niki menatap gue khawatir.

"G-gue, baru ketemu cogan!" teriak gue heboh, yang membuat teman sekelas menatap kearah gue.

Dengan sigap Camel dan Niki memainkan ponselnya, membuang muka dari arah gue seolah-olah tak mengenal.

"Woi Camel, Niki. Masa gue dicuekin," celetoh gue.

"Gue nggak kenal sama lu," sahut Niki menutup mukanya.

"Ah lu mah!" teriak gue lagi, yang membuat teman sekelas gue melirik kearah pojok tepat gue dan kedua sahabat gue duduk.

"Ck, makin nggak kenal gue." kini giliran Camel yang malu.

"Gue pengen curhat nih, ayo lah dengerin curhatan gue." Gue mencoba membujuk kedua sahabat gue.

Duka Laras Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang