Dari antara semua hari yang gue jalanin, hari ini adalah hari paling capek lahir dan batin. Gue yakin banget pas bangun tidur tadi pagi, nggak mimpi apa-apa, apalagi ngepet. Tidur gue cukup nyenyak dan kerjaan gue kelar semua.
Gue juga yakin kalo tadinya janjian sama dua temen kampret gue di kafe, tapi kenapa jadinya terjebak di sini?
Berada di depan rumah dengan bangunan yang kayaknya seumuran gue, sama sekali nggak modern tapi gede, gue masih duduk di dalam mobil bareng Faith.
Bukan karena takut, tapi Faith yang malah diem aja sambil liatin rumah itu dengan ekspresi kayak mau nangis.
"Mau sampe kapan kayak gini, anjir? Udah malem ini!" ucap gue ketus.
Males banget ladenin cewek yang punya mood berubah drastis. Pas di apartemen gue, doi bisa kayak singa. Di sini, malah cemen kayak anak kucing yang kehilangan emak. Capek ati lama-lama kayak gini. Baru chapter enam, woi!
"Gue bakalan masuk kalo..."
"Ini udah jam setengah sebelas!" sela gue galak.
"Tapi..."
"Lu mau turun atau nggak? Kalo nggak, biar gue yang turun sendiri!" sela gue lagi sambil mematikan mesin dan keluar dari mobil.
Dari samping, gue bisa denger Faith berseru pelan sambil keluar dari sana. Bomat lah, niat gue buat anter anak orang pulang sampe rumah, abis itu pengen cepet-cepet pulang buat tidur.
"Hans, please! Nggak sekarang. Gue..."
"Lagak lu kayak macan lagi beranak, tapi sekarang kayak udah mau mati. Eh, lu nggak bisa kayak gini terus, Faith! Gue nggak bisa nungguin di mobil kayak orang tolol! Gue bukan maling, anjir!" sewot gue lagi.
Faith menatap gue dengan diam, nggak membalas apa-apa selain mengangguk, meski sorot matanya kayak mau nangis. Heran banget sama yang nulis, otaknya perlu direparasi biar beneran dikit. Sengklek amat jadi orang.
"Kalo gitu, lu nggak usah ikut masuk. Gue bisa masuk sendiri. Thanks udah nganter," ucapnya pelan.
"Nggak. Gue ikut masuk. Gue..."
"Hans," sela Faith dengan nada yang sangat pelan. "Meski gue tahu lu nggak peduli, tapi nggak usah kuatir. Gue baik-baik aja."
"Baik-baik aja, my ass! Lu bisa bohong, tapi ekspresi muka lu nggak bisa bohong!" balas gue keki.
Seperti drama pada umumnya, lu pasti pernah nontonin kejadian dua tokoh utama lagi adu bacot di depan pagar, lalu ada sebuah mobil yang datang mendekat, yaitu bapaknya si tokoh utama. Jijik banget kan tuh adegannya? Nah, adegan jijik itu yang gue alamin sekarang.
Gue sempat melirik ke arah Faith yang langsung tersentak, lalu maju selangkah di depan gue, saat mobil itu berhenti persis di depan kami. Oke, drama dimulai.
Ada satu bapak-bapak keluar dari pintu belakang. Lu bisa bayangin sosok om-om dengan muka kalem dan kumis tipis, tapi postur tubuhnya agak kecil. Ekspresinya? Songong abis. Persis kayak Faith, yang udah pasti itu bapaknya yang biadab.
Dia berhenti nggak jauh dari kami, menatap Faith dengan sorot mata tajam ala tokoh antagonis, lalu mendelik ke arah gue dengan tatapan menilai dan merendahkan. Ckck. Sekaya apa sih lu sampe songong gitu, Om?
"P-Papa..."
"Pulang malam, terus nongkrong depan rumah? Apa selain kurang ajar dan bodoh, kamu juga nggak ada harga dirinya jadi perempuan?" ucap orang yang dipanggil Papa oleh Faith itu dengan sengit.
Buat gue, jadi cowok itu selain sayang sama ibunya, harus banget sayang pasangan dan anak-anaknya kelak. Lu nggak bisa pilih kasih atau lupa diri dengan nilai ego yang tinggi.
KAMU SEDANG MEMBACA
SKINSHIP (FIN)
ChickLitThe fiction to the fuckest story #3 The closeness between them, bonding through intimacy of touch. Then it gets so bad, that one day you get breakdown. They make choice based on emotion, then use what they call logic to justify their choice. When...