Sebenarnya, gue udah nggak mood ngikutin perhaluan ini. Makin lama, yang nulis bikin keki. Pengen banget gue lempar sempak.
Niat mau anter pulang malah zonk, karena Faith diusir sama bokapnya sendiri. Gue udah nggak paham kenapa ada orangtua macam itu. Abis kasih tahu siapa keluarga gue, bokapnya malah lari ke dalam rumah, anaknya nggak dibawa masuk sekalian. Bego!
"Gue nggak nyangka kalo lu dari keluarga berak duit," gumam Faith sambil menatap gue dengan penuh penilaian.
"Why? Nggak usah mikir buat jadiin gue lapak duit. Dan jangan harap bokap lu bisa cari gara-gara sama gue dengan bohong soal kita," desis gue judes.
Faith tertawa hambar sambil menggeleng. "Gue juga tahu diri kalo lu nggak bakalan mau sama cewek kayak gue."
"Cewek kayak gimana maksudnya?" sindir gue.
"You have everything in life, but I don't. Kita berbeda dan nggak bakal bisa sejalan walau dipaksain. Tapi makasi banyak buat lu karena udah bantuin gue malam ini," balas Faith santuy.
"Heh? Lu mau kemana?" seru gue sambil mencengkeram lengan Faith.
Posisi kami masih di depan rumahnya, dimana nggak ada satu pun tetangga atau hansip komplek. Fix lah, kalo komplekan ini bebas dari bisik-bisik tetangga dan nyinyiran sotoy ala sinetron. Tapi, gue nggak tahu deh kalo yang ngintip dari jendela. Bomat.
"Gue mau pergi," jawab Faith sambil berusaha melepas cengkeraman gue.
"Lu mau cari masalah dimana? Lu baru diusir tapi nyantai banget? Udah gak waras lu?"
Faith menghela napas. "Ini adalah yang gue tunggu-tunggu, Hans. Gue nggak peduli soal keluarga karena pengen mandiri. Gue nggak masalah karena emang dari dulu nggak dianggap anak. It's fine for me. Really."
"Terus lu mau kemana sekarang?" tanya gue nyolot.
"Hotel. Atau mungkin nginep di rumah temen. Liat entarnya aja," jawabnya enteng.
"Mau naik apa?"
"Ya ojol lah! Apaan lagi?"
"Lu tadi ke sini sama siapa? Kenapa malah pesen ojol segala? Masuk!"
Faith langsung menggeleng. "Nggak! Gue nggak mau sampe dikira deketin lu karena lu itu anak konglo."
"Anjir, dari kemarin yang deketin mulu tuh siapa? Bukannya lu yang kepengen banget jadi cewek gue?"
"Gue mau jadi cewek lu karena nyaman, juga nggak tahu lu itu siapa."
"Kenapa mendadak jadi insecure? Tadi aja kepedean lu!"
"Bukan insecure, tapi tahu diri. Selain gak minat jadi pelakor, gue juga ogah dianggap gold digger. Biar gimana pun, gue masih berharap ada cowok yang tulus sama gue dan nggak pamrih."
"Buat cewek kayak lu, udah pasti nggak ada apa-apanya. Muka pas-pasan, sedikit gampangan, juga berangasan. Yang ada malah bikin eneg!"
Sumpah! Gue nggak niat buat ngatain, tapi itu kenyataan. Faith malah cuma nyengir dan sama sekali nggak tersinggung.
"Maka itu, gue nggak punya apa-apa buat balas, selain ngarepin ada yang tulus sama gue. Lu boleh ngetawain gue, nggak apa-apa. Gue tahu diri kok. Tuhan ciptain gue, masa iya nggak kasian sama gue?" cetus Faith pelan.
"Holy crap! Mendadak radikal lu?" cibir gue.
Faith tersenyum hambar sambil mengangkat bahu. "Karena manusia udah lebih jahat daripada setan. Gue cuma bisa berharap sama yang ciptain gue aja. At least, kapan hidup gue kelar tanpa perlu main putusin sendiri?"
KAMU SEDANG MEMBACA
SKINSHIP (FIN)
ChickLitThe fiction to the fuckest story #3 The closeness between them, bonding through intimacy of touch. Then it gets so bad, that one day you get breakdown. They make choice based on emotion, then use what they call logic to justify their choice. When...