Gara-gara Hujan.

707 53 2
                                    

(Warning: Harsh words.)

Hari rabu, hujan turun dengan derasnya, membuatku terjebak di dalam loket bersama dua komputer yang salah satunya masih menyala, menunjukkan jadwal penerbangan sore ini.

Aku mendengus kesal, teman-teman kerja yang shift nya berbarengan denganku memilih untuk pergi ke *check-in atau ke ruangan belakang yang dekat dengan landasan pesawat. Aku ditinggal sendirian menjaga loket, menjadi kasir. Tsk, teman juga penjahatnya.

Jam dinding sudah menunjukkan pukul tiga lebih lima belas menit, hujan deras begini sudah pasti penerbangan akan *delay.

"Mohon perhatian, penumpang Shadow Air dengan nomor penerbangan HA 233 tujuan Palangka Raya - Surabaya mengalami keterlambatan selama 30 menit, dikarenakan cuaca—"

Tuh kan, apa kubilang? cuaca seperti ini kemungkinan terburuknya adalah membatalkan penerbangan dan harus *refund uang penumpang.

Klik. Bunyi pintu terbuka menandakan seseorang masuk tanpa permisi, "hei, jangan buka pintu secara tiba-tiba begitu, sial, bikin orang kaget."

Sosok tersebut menatapku sejenak, lalu tanpa bersuara melengos pergi ke balik lemari yang menjadi sekat ruangan ini. Memang sialan, manusia ini tidak mendengarkanku.

"Oi, Park Jimin, dengar aku tidak? kau mendadak tuli ya?!"

Park Jimin, ia juga bekerja di maskapai penerbangan yang sama denganku, Shadow Airlines. Hanya saja bagiannya bukan di sini, tetapi di gudang *cargo. Kami jarang terlibat suatu obrolan, selain karena tempat kami berbeda, ya kami tidak terlalu akrab juga. Lebih tepatnya, mungkin aku yang tidak ingin begitu mengakrabkan diri. Wajahnya saja sudah terlihat mengesalkan begitu, mengajak baku hantam.

Waktu sudah lewat tiga puluh menit, akhirnya pesawat tetap berangkat walaupun masih gerimis, setidaknya jarak pandang pilot tidak pendek. Dan pria bernama Park Jimin ini masih di sana, di balik lemari. Aku tidak tahu apa yang ia kerjakan karena tertutup lemari besar ini, atau mungkin tidur?

"Ji—"

Dreek. Bunyi kursi yang terdorong memecahkan keheningan di loket, Aku menoleh mendapati Jimin yang berdiri dengan sebuah ponsel dan earphone di tangannya.

"Yoongi, kau sudah isi *data kompetitor?"

"Hari apa? aku sudah isi hari kemarin, kalau untuk hari ini belum." Wah, manusia ini akhirnya berbicara juga, kupikir akan langsung pergi begitu saja seperti hantu.

Mendapati penjelasanku, Jimin mengangguk, "habis ini langsung pulang?"

Aku mengernyitkan dahi, dengan nada ragu mengiyakan. Hell, tentu saja aku langsung pulang setelah jadwal selesai, mana mungkin aku menginap di bandara.

"Kenapa? mau memberiku tumpangan?" Seringai kecil tak luput dari wajahku, bertanya iseng karena basa-basinya. Dengan santai Jimin berjalan, membuka pintu untuk keluar ruangan, "tidak tuh, aku nanya aja. Dasar kepedean."

"Apa yang— ah, Park sialan Jimin!" Memang lebih baik untukku tidak begitu mengenal orang itu, ternyata mulutnya lebih menyebalkan ketika berbicara.

"Yoongi, sudah mau pulang?" Aku mendongak sekilas, beberapa saat setelah Jimin ke luar, Seokjin masuk ke dalam ruangan. Ia baru kembali dari *Gate.

"Iya lah, seharusnya kan aku pulang dari tadi." Seokjin mengangguk membenarkan ucapanku, shift ku sudah selesai. Barang-barangku sudah masuk ke dalam tas, ruangan pun sudah bersih, tinggal angkat pantat dari kursi berumur ini dan meninggalkan bandara– khususnya loket ini.

Our Stories: MINYOON/JIMSUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang