The Shelter | CHAPTER 2

48 6 2
                                    

Ellie sama sekali belum menyentuh surat wasiat ibunya. Ia menyerahkan segala kepercayaannya pada bibinya Floren. Begitu jelas di usai pemakaman, namanya dituliskan jika ia mewarisi peternakan dan rumah peninggalan ayah dan ibunya ini.

Rasa sakit begitu mencabik-cabiknya. Deksripsi rasa sakit yang seolah membunuhnya secara perlahan. Dia bisa gila dengan semua omong kosong-- jika akhirnya ia jatuh di tangan seseorang yang tak diketahuinya jelas.

Kemarahannya tak terhenti di situ saja. Bibinya menyembunyikan jika-- bahwa awalnya ia telah resmi menjadi wali sahnya memenangkan persidangan atas hak asuh. Dan tanpa sepengetahuan serta persetujuan darinya, hak asuh itu kembali diberikan ke orang lain. Itu sama sekali tidak masuk akal untuknya.

Siapa orang itu? Sehebat apa dia hingga dapat membeli dan mengambil segalanya.

Nama pria itu dituliskan di surat wasiat ibunya seolah telah terencana.

Aeron Wylbert, dia lah sosok itu. Ellie telah membaca berkas duplikat dari cetakan resmi yang diberikan bibinya lusa lalu.

Ellie menangkup kedua tangannya dan menangisi situasi yang tengah menyangsikan pikiran dan menyesahkan perasaannya.

Tenggelam akan pikirannya, Ellie bahkan tidak mendatangi peternakan karena alasan yang tak pasti ia beritahukan kepada pekerja peternakannya yang lainnya.

Sudah dua hari usai perdebatannya dengan Floren, membuatnya benar-benar tak ingin beraktivitas di luar rumah.

"Ellie?"

Ellie beranjak bangun dari tidurnya terkaget. Kepalanya pening usai menangis dengan waktu yang cukup lama.

"Kau tidak mengunci rumahmu. Jadi aku masuk untuk mengecekmu."

Ellie memilih duduk menghadap pada Floren yang duduk di bibir ranjangnya. "Aku minta maaf."

"Ya kumaafkan. Lagi pula bukankah ini sudah terlanjur terjadi?"

Ellie berbicara dengannya dengan nada yang rendah namun, maksud kalimat keponakannya itu cukup menyinggungnya.

Ia pun menghela napasnya, menepuk kaki Ellie yang menyilang. "Ini bukanlah sesuatu yang buruk untukmu. Aku sudah memberitahumu bukan?"

"Ya aku paham," ketus Ellie menyibak selimut yang menghalanginya.

Anak gadis itu beranjak berdiri dari ranjangnya berniat meninggalkan Floren.

"Apa kau ingin mendengar informasi tentangnya?"

Ellie menghentikan langkahnya spontan tepat di ambang pintu. "Apa itu penting untukku?"

Floren tersenyum lemah. Tak dielak olehnya jika rasa bersalah-- menyembunyikan semua yang telah direncanakan, memang ide yang buruk. "Ya itu cukup penting untukmu. Kau takkan bisa menerima atau terbuka pada seseorang tanpa mengenal namanya bahkan tentangnya terlebih dahulu."

Ellie menyilangkan kedua tangannya di dada menatap tak ampun. Namun akhirnya, gadis itu memejamkan mata seraya menghela napas luluh.

Ia memang murka tetapi ia tidak baik harus bersikap demikian. Lagipula Floren tetaplah bibinya. "Oke."

Floren tersenyum lega. "Kemarilah duduk di sampingku."

Ellie menghampiri Floren untuk duduk berhadapan. "Siapa Aeron Wylbert?"

Air muka Ellie melunak. Floren meraih tangan Ellie untuk setidaknya memberikan energi positif sembari ia akan memulainya. "Aeron Wylbert adalah seorang pengusaha, dengan jabatan sebagai Chief Executif Officier di perusahaan Maskapai Penerbangan Air California Force atau ACF."

THE SHELTER  (Wylbert)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang